Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur soal penegakan hukum protokol kesehatan Covid-19.
Terkait hal itu, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru mempertanyakan kewenangan TNI di dalam Inpres tersebut.
Fahmi menjelaskan, Inpres tersebut ditujukan kepda sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri, kepala lembaga serta gubernur, bupati dan wali kota.
Panglima TNI diminta untuk memberikan dukungan kepada kepala daerah dengan mengerahkan kekuatan anggota TNI untuk melakukan pengawasan protokol masyarakat di tengah masyarakat.
Baca Juga: Jokowi Targetkan 30 Ribu Tes PCR Dalam Sehari
"Panglima TNI bersama Kapolri dan instansi lain secara terpadu dengan pemerintah daerah menggiatkan patroli penerapan protokol kesehatan di masyarakat," ujar Fahmi kepada wartawan, Jumat (7/8/2020).
"Juga diminta untuk melakukan pembinaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19," sambungnya.
Akan tetapi, dalam instruksinya itu Presiden tidak memaparkan secara rinci bagaimana penerapan penegakan hukumnya. Sebab, yang tertulis hanya kepala daerah diminta untuk melakukan koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait yakni TNI dan Polri.
Menurutnya hal tersebut bakal berpotensi memunculkan masalah. Karena kalau dilihat dari isinya, pelaksanaannya akan diatur melalui Peraturan Gubernur/Bupati/Wali Kota yang merujuk kepada tidak boleh adanya pelanggaran prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memperhatikan bahwa pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat dilakukan dalam koridor penegakan disiplin, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.
Dengan begitu menurut Fahmi seharusnya TNI tidak langsung berhadapan dengan masyarakat.
Baca Juga: Pemprov DKI Klaim Reklamasi Ancol Bisa Dilakukan Pakai Aturan dari Jokowi
"Artinya, terkait penerapan sanksi, TNI mestinya tidak berhadapan langsung dengan masyarakat, sesuai dengan ketentuan mengenai OMSP di atas dan memperhatikan bahwa penjuru penegakan hukum dan ketertiban masyarakat adalah Polri, bukan TNI," ujarnya.
Fahmi juga melihat Inpres 6/2020 tampak seperti mengesankan TNI dan Polri dalam posisi setara. Padahal semestinya, leading sector itu ditempati unsur penegak hukum yakni Polri sebagai organisasi perangkat daerah.
"Dalam penerapan sanksi berupa teguran lisan sekalipun, tidak boleh disepelekan adanya kemungkinan 'over action' dari para personel yang bertugas di lapangan," katanya.
Karena itulah menurutnya, Pergub/Perkab/Perwal itu juga harus diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri yang berisikan kewenangan, prosedur, cara bertindak dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan.
Hal itu dinilai penting agar pelaksanaannya tidak keluar dari aturan yang ada.
"Kenapa perlu didampingi peraturan panglima TNI dan peraturan Kapolri? Ya, agar pelaksanaannya nggak ngawur dan terhindar dari kemungkinan tumpang tindih di lapangan yang bisa berujung friksi antarpetugas maupun aksi kekerasan improper dari aparat bertugas," ucapnya.
Sebagai informasi, Inpres tersebut diteken guna menjamin kepastian hukum, memperkuat upaya dan meningkatkan efektivitas pencegahan dan pengendalian Covid-19 di seluruh provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia.
Dalam Inpres tersebut, Jokowi meminta gubernur, bupati dan wali kota untuk meningkatkan sosialisasi secara masif penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19 dengan melibatkan masyarakat, pemuka agama, tokoh adat, masyarakat dan unsur masyarakat lainnya.
Jokowi juga meminta kepala daerah baik gubernur, bupati, wali kota untuk menyusun dan menetapkan peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Adapun sanksi dari Inpres tersebut berupa teguran lisan atau tertulis, kerja sosial, denda administrasi atau penghentian atau penutupan sementara penyelenggara usaha.
"Dalam penyusunan dan penetapan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota, memperhatikan dan disesuaikan dengan kearifan lokal dari masing- masing daerah," bunyi Inpres tersebut.
Inpres tersebut ditandatangani Jokowi pada Selasa 4 Agustus 2020 dan mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.