Suara.com - Dentuman dahsyat tiba-tiba terdengar. Debu dan asap pekat seketika menerobos masuk, memenuhi ruangan. Pria ini tergagap sejenak, memikirkan apa yang terjadi barusan.
Ia adalah Mohamed Khalifeh, mantan Menteri Kesehatan Lebanon yang turut prihatin atas bencana di tanah kelahirannya.
Menyadur Al Jazeera pada Kamis (06/08/2020), pria ini segara ke rumah sakit Beirut setelah ledakan.
Ia membantu merawat korban ledakan dan menempatkan keluarga pada prioritas kedua.
Baca Juga: Bantu Pencarian Korban Ledakan Lebanon, Uni Eropa Terjunkan Tim SAR
Khalifeh sempat memberi pesan pada keluarganya bahwa ledakan baru saja terjadi dan segalanya menjadi bencana dalam sekejap mata.
"Saya berada di rumah saat terjadi ledakan. Saya berteriak pada keluarga saya untuk berhati-hati, ada gempa. Dan segera, segalanya runtuh. Saya meninggalkan keluarga dan bergegas ke rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa."
![Warga menolong korban yang terluka di lokasi ledakan di pelabuhan kota di Beirut, Lebanon, Selasa (4/8). [Foto/AFP]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/08/05/69290-ledakan-di-beirut.jpg)
Mohamed Khalifeh mengatakan, negaranya sudah mengalami banyak hal belakangan ini, termasuk merosotnya perekonomian juga pandemi. Ia prihatin atas apa yang terjadi dengan Lebanon akhir-akhir ini.
"Kami berada dalam situasi yang sangat buruk secara ekonomi, (kekurangan) pasokan medis, kekurangan segalanya, kami berhasil mengatasinya, tetapi kehancuran ini tidak bisa dijelaskan."
Sementara itu, seorang mantan jenderal angkatan darat Khaled Hamade mengatakan posisinya sangat dekat dengan lokasi ledakan ketika bencana itu terjadi.
Baca Juga: PMI Bakal Kirim 1.000 Stok Darah Untuk Korban Ledakan di Lebanon
"Itu bencana," katanya.
"Ada pecahan kaca di seluruh jalan dan Anda melihat banyak, banyak yang terluka di seluruh jalan," tambah Hamade. "Semuanya (membuat saya ingat) hari terakhir perang saudara di Beirut."
![Sebuah helikopter memadamkan api di lokasi ledakan di pelabuhan kota di Beirut, Lebanon, Selasa (4/8). [Foto/AFP]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/08/05/24720-ledakan-di-beirut.jpg)
Surga untuk Ayah
Di dalam lobi rumah sakit, seorang wanita muda tertunduk lesu. Ia membungkuk dalam kesedihan dan berkata pada bayinya, "Youssef, ayah ada di surga."
Tak jauh dari wanita muda itu, seorang pria tua memukul tanah berulang kali sambil terisak, tak tahu harus menyalahkan siapa atas bencana yang terjadi. Mereka adalah keluarga korban ledakan Beirut.
Al Jazeera sempat mewawancarai Habib Battah, seorang jurnalis dan pendiri situs berita beirutreport.com. Ia mengatakan negaranya tidak siap menghadapi bencana ini.
"Negara ini tidak siap menghadapi. Kami selalu hidup dalam ketakutan akan bencana besar. Bencana alam, gempa bumi, negara ini tidak memiliki kesiapan darurat dan tidak ada respons."
Satu hal yang membuat Battah semakin terpuruk adalah mambayangkan, bagaimana para korban bisa bertahan saat malam hari sementara semua jendela dan pintu pecah akibat dentuman.
"Saya bertanya-tanya bagaimana orang akan tidur malam ini tanpa jendela," katanya.