Pada November 2018, pemerintah menaikkan harga bensin dalam semalam dan menindak keras protes yang terjadi kemudian. Ratusan pengunjuk rasa tewas dalam beberapa hari.
Pada Januari tahun ini, respons Iran terhadap pembunuhan AS atas jenderal Iran Qasem Soleimani, yang dipandang sebagai salah satu tokoh paling kuat di Iran setelah Pemimpin Tertinggi-nya, menciptakan masalah lain.
Kemudian pasukan bersenjata Iran - dalam siaga tinggi - secara keliru menembakkan rudal ke sebuah pesawat Ukraina hanya beberapa menit setelah lepas landas dari bandara internasional Teheran. Semua 176 orang di dalamnya tewas.
Pihak berwenang Iran awalnya mencoba menutupi apa yang terjadi, tetapi setelah tiga hari mereka dipaksa untuk mengakuinya.
Baca Juga: Update Covid-19 Global: Naik Peringkat, Indonesia Terbanyak Ke-23 di Dunia
Dr Nouroldin Pirmoazzen, seorang mantan anggota parlemen yang juga seorang pejabat di Kementerian Kesehatan, mengatakan kepada BBC bahwa dalam konteks ini, pemerintah Iran "cemas dan takut pada kebenaran" ketika virus corona menyerang Iran.
Dia mengatakan: "Pemerintah takut bahwa orang miskin dan pengangguran akan turun ke jalan."
Dr Pirmoazzen menunjukkan fakta bahwa Iran menghentikan organisasi kesehatan internasional Mdecins Sans Frontieres untuk menangani kasus-kasus virus corona di provinsi Isfahan sebagai bukti betapa kuatnya pendekatan keamanan terhadap pandemi itu.
Iran sedang mengalami masa-masa sulit bahkan sebelum pertikaian militer dengan AS dan pandemi virus menghantam.
Sanksi yang diterima setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir pada Mei 2018 silam telah memukul ekonomi Iran dengan telak.
Baca Juga: Kemenkes Minta Anji Tanggung Jawab Terkait Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto
Dr Pouladi mengatakan: "Mereka yang membawa negara ke titik ini tidak membayar harganya. Orang miskin di negara ini dan pasien miskin saya yang membayar harganya dengan nyawa mereka."