Berdasarkan hasil puluhan wawancara di Irak utara, laporan Amnesty itu mengungkapkan bahwa anak-anak Yazidi itu mengalami luka-luka jangka panjang serta gangguan stres pasca-trauma.
Aspek pendidikan merupakan sesuatu yang langka di kamp-kamp pengungsian tempat puluhan ribu orang-orang Yazidi terjebak di dalamnya.
Kaum perempuan Yazidi yang dipaksa menikah dengan petempur ISIS juga berjuang untuk menyembuhkan luka-luka psikologis.
"Saya ingin memberi tahu [komunitas kami] dan semua orang di dunia, tolong terimalah kami, dan terima pula anak-anak kami ... Saya tidak ingin punya bayi dari orang-orang ini [ISIS]. Saya terpaksa punya anak laki-laki," kata Janan, yang berusia 22 tahun, kepada Amnesty.
Baca Juga: Pendukung ISIS Asal Inggris, Shamima Begum Bisa Pulang Demi Kewarganegaraan
Banyak perempuan Yazidi dipisahkan dari anak-anaknya ketika mereka melarikan diri dari wilayah yang menjadi pertahanan terakhir ISIS di Suriah.
"Kami semua berpikir untuk bunuh diri, atau mencoba melakukannya," kata Hanan, 24 tahun, yang anaknya diambil secara paksa darinya.
Amnesty mengatakan para ibu harus dipersatukan kembali dengan anak-anaknya secara permanen.
"Para perempuan ini diperbudak, disiksa dan menjadi sasaran kekerasan seksual. Mereka seharusnya tidak menderita akibat hukuman lainnya," kata Matt Wells, salah-seorang pimpinan Amnesty International.
Baca Juga: Enam Tahun Jadi Budak Seks Ayah Tiri, Anak Putus Sekolah Mengadu ke Bibinya