SBMI Bongkar Tren Kasus TKI Jadi Korban Pengantin Pesanan

Kamis, 30 Juli 2020 | 18:43 WIB
SBMI Bongkar Tren Kasus TKI Jadi Korban Pengantin Pesanan
Ilustrasi perdagangan orang. [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap tren kasus perdagangan orang yang menimpa pekerja migran Indonesia selama 4 tahun terahir. Dalam rentang Januari 2018 hingga Mei 2020, sedikitnya 25 kasus yang ditangani oleh SBMI memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan.

Kasus-kasus itu disampaikan oleh Sekjen SBMI, Boby Alwi saat peluncuran kertas laporan investigasi bertema ‘Jeratan Perdagangan Orang Dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran’ dalam rangka Peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia secara daring, Kamis (30/7/2020).

Namun dari 25 kasus perdagangan orang Pekerja Migran Indonesia (PMI), hanya 13 kasus yang korbannya berani melapor ke Kepolisian. Sisanya tidak atau belum melaporkan ke Kepolisian.

Hal itu disebabkan beberapa faktor, pertama ada yang beberapa korban pengantin pesanan masih berada di China, kedua korban memilih untuk tidak menempuh jalur hukum. Dan ketiga, pelaku yang memperdagangkan PMI itu adalah keluarga dekat.

Baca Juga: Selundupkan 120 WN Srilangka ke Prancis, Bolang Tertangkap di Bekasi

Laporan investigasi SBMI menemukan adanya faktor pendorong dan penarik dalam proses migrasi buruh migran Indonesia keluar negeri. Faktor pendorongnya antara lain kemiskinan, susahnya lapangan kerja. Sementara faktor penariknya antara lain adanya pangsa pasar kerja yang terbuka luas di luar negeri.

Dari 25 kasus PMI yang jadi korban perdagangan orang itu paling banyak berasal dari Kalimantan Barat 9 orang, lalu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.

Kalimantan Barat korban paling banyak lantaran dari etnis keturunan Tionghoa.

“Semua korban tingkat pendidikannya rendah, yakni lulusan SMP, SMA bahkan ada yang tidak tamat SD,” ujarnya.

Boby mengungkapkan, korban rata-rata mengalami eksploitasi secara fisik dengan dipekerjakan tanpa dibayar upahnya. Kemudian mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti penganiayaan dengan pemukulan hingga luka-luka.

Baca Juga: Diduga akan Jual Orang ke Arab Saudi, Polisi Tangkap Dua Warga Serang

Selain itu, pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perekrut dan penyalur pekerja migran tersebut adalah pemalsuan dokumen. Salah satunya adalah manipulasi usia PMI yang rata-rata berusia anak di bawah umur.

“Dari 25 kasus yang kami dampingi itu ada yang usianya 14 tahun di dokumen dinaikan usianya menjadi 18 tahun,” ungkapnya.

Oleh karena itu, SBMI mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus menyelesaikan kasus perdagangan orang di kalangan PMI secara komprehensif, salah satu akar permasalahannya adalah lapangan kerja.

“Kementerian Ketenagakerjaan harus memberantas para calo dengan membuat Sistem Informasi Terpadu yang bisa diakses oleh calon buruh migran, dan menjadi alat kerja bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Desa,” jelasnya.

“Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI) harus memperkuat pengawasan, agar penempatan pekerja migran Indonesia tidak masuk dalam jeratan perdagangan orang”.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI