Suara.com - Sejak dikeluarkannya Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud), semua sekolah internasional di Indonesia berubah status menjadi Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK).
Atas dasar inilah, SPK di Indonesia diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antar Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang terakreditasi atau diakui di negaranya dengan lembaga pendidikan di Indonesia, baik dalam bentuk formal maupun non formal, dan dijalankan dengan Undang-Undang yang berlaku.
SPK merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum luar negeri dan menggunakan pengantar bahasa asing saat proses belajar-mengajar di kelas.
Walau memiliki pendekatan belajar yang berbeda dengan sekolah nasional, pemerintah mewajibkan sekolah SPK memberikan tiga mata pelajaran wajib, yaitu Bahasa Indonesia, Agama, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN). Bahasa Inggris bisa digunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam kegiatan belajar-mengajar.
Baca Juga: Hari Anak Nasional, Kemendikbud Gelar Kemah Karakter Visual Anak Indonesia
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014, maka semua sekolah yang merupakan kerjasama antara lembaga pendidikan Indonesia dan LPA, baik dalam bentuk kursus, kelompok belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sejumlah Taman Kanak-Kanak (TK), harus menyesuaikan diri dengan Permendikbud yang telah dikeluarkan oleh Kemedikbud.
Bagi lembaga swasta yang ingin mendirikan SPK, maka lembaga tersebut harus memiliki modal sekolah swasta berkurikulum nasional dan terakreditasi A. Modal ini merupakan bukti bahwa sekolah memenuhi delapan standar sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Adapun standar-standar satuan pendidikan yang disebutkan dalam UU Sisdiknas tersebut diantaranya proses pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan diri dan intelektual, bangunan, alat dan kelengkapan, serta kualitas tenaga pengajar.
Kualitas pembelajaran yang terbaik harus diberikan kepada siswa, sebagai generasi penerus bangsa. Hal ini juga menjadi komitmen SD Kristen Charis, Malang, Jawa Timur. Sekolah yang berdiri pada tahun 2001 dan berganti status SPK pada tahun 2015 ini, memperhatikan kualitas belajar yang terbaik, sekaligus menyenangkan bagi anak-anak didik.
“Kami terus berusaha untuk memberikan pembelajaran yang berkualitas dan memastikan anak-anak bisa tetap terlibat aktif dalam pembelajaran yang menyenangkan dan meaningful. Kami juga memberikan aktifitas pendampingan bagi anak-anak untuk menjaga, supaya secara psikologis mereka tetap terjaga semangatnya dan bisa menikmati waktu meskipun harus di rumah saja,” ujar Kepala Sekolah SD Kristen Charis, Susane Ikawati, M. Pd, ketika dihubungi Suara.com, Minggu (26/7/2020).
Baca Juga: Pimpinan DPR Minta Kemendikbud Evaluasi Program Organisasi Penggerak
Saat ini, SD Kristen Charis memberlakukan pembelajaran jarak jauh, karena mengutamakan keselamatan anak didik dan para guru di tengah pandemi. Menurut Susane, anak-anak didiknya tentu lebih senang belajar di sekolah.
“Tentu saja lebih suka di sekolah. Secanggih apapun sistem yang digunakan dalam pembelajaran jarak jauh, hal itu tidak akan dapat menggantikan secara penuh pemenuhan kebutuhan interaksi anak-anak saat mereka menghabiskan waktu di sekolah bersama guru dan teman-teman sebaya,” tambahnya.
Tak hanya kegiatan akademis di dalam sekolah, SD Kristen Charis juga memiliki program penting lainnya, yaitu kegiatan untuk berbagi yang secara rutin dilakukan setiap tahun. Kegiatan ini ditujukan bagi anak-anak dari sekolah lain.
“Sesuai dengan visi dari yayasan, kami berharap bisa memberikan pengaruh bagi pendidikan di Indonesia, termasuk bagi masyarakat di sekitar lingkungan sekolah,” ujar Susane lagi.
Kegiatan ini dimulai dengan Garage Sale, yang menjadi wadah bagi para murid dan orangtua untuk memberi berkat bagi masyarakat di lingkungan sekitar. Semua hasil penjualan dari Garage Sal, ditambah dengan dana dari sekolah dan para donatur lain, digunakan untuk kegiatan Mission Trip, yang merupakan kesempatan bagi anak-anak untuk berbagi dengan teman-teman di sekolah lain.
Adapun bentuk Mission Trip adalah mengajar adik-adik di level yang lebih kecil di sekolah lain, sekaligus menolong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
“Hal ini kami wujudkan dalam bentuk melengkapi perpustakaan, alat peraga sekolah, menghias ruangan kelas, merenovasi sekolah, dan lainnya. Kegiatan ini dilakukan oleh anak-anak dari kelas 1-6,” tambah Susane.
Rangkaian kegiatan selanjutnya adalah Charis Teachers Conference (CTC). CTC merupakan berbagi dari para guru kepada guru-guru lain dari sekolah-sekolah sasaran di sekitar Kota Malang dan di seluruh Indonesia.
Semua kegiatan yang dilakukan SD Kristen Charis ini diharapkan mampu memberikan pengaruh positif, walaupun dimulai dari komunitas terdekat. Kegiatan yang dilakukan secara kontinu tersebut terbukti telah mampu menjangkau lebih dari 50 sekolah dari berbagai pulau di Indonesia.
Sekolah sebagai Pembentuk Karakter Anak
Selain sebagai tempat menuntut ilmu, sekolah juga dinilai sebagai tempat pembentuk karakter anak. Hal ini merupakan salah satu visi Sekolah Gandhi Ancol, Jakarta.
Sekolah yang anak didiknya berasal dari Indonesia, Korea, Tionghoa Peranakan, dan orang Indonesia India ini dituntut untuk mampu menanamkan rasa percaya diri dan selalu bersikap sopan santun kepada orang lain.
"Karakter anak nomor satu adalah percaya diri, kemudian bersikap sopan santun kepada siapapun. Ini kami tekankan, karena anak-anak keturunan Tionghoa diajarkan untuk memupuk rasa percaya diri mereka oleh neneh moyang, kemudian anak-anak warga negara Indonesia biasanya diingatkan untuk menjaga kesantunan," ujar Kepala Sekolah Gandhi School, Indah Primasari, kepada Suara.com. Selasa (28/7/2020).
Secara keseluruhan, Sekolah Gandhi berupaya membentuk pria dan wanita mudanya untuk memiliki kepribadian yang berkembang dengan baik, siap untuk terlibat dan berkontribusi pada masyarakat di tingkat regional, nasional, maupun global.
Pembentukan karakter ini sangat relevan dengan tujuan Sekolah Gandhi, yaitu memberikan siswa siswinya masa kanak-kanak dengan pengalaman belajar yang menyenangkan, pengalaman yang penuh dengan keanekaragaman dan kehangatan. Pengalaman yang menyenangkan dan penuh kehangatan itu, salah satunya diwujudkan dalam bentuk bakti sosial atau berdonasi kepada yang tidak mampu.
"Di setiap Oktober, dalam rangka HUT Mahatma Gandhi, kami selalu menyelenggarakan bakti sosial. Kami berbagi dengan anak-anak atau masyarakat di lingkungan sekitar sekolah. Kemudian pada Hari Kartini, kami berdonasi dalam bentuk uang dan kami berikan kepada anak-anak yang tidak mampu, misalnya untuk anak-anak di daerah Pademangan," tambahnya.
Selain membentuk rasa simpati dan empati kepada sesamanya, Sekolah Gandhi berusaha untuk membantu anak-anak tampil di puncak kemampuan mereka dalam bidang apapun. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, SPK ini menyediakan lingkungan yang seimbang, aman dan realistis bagi anak muda untuk belajar dan tumbuh.