Save The Children: Rekor Suhu Tertinggi dan Covid-19 Jadi Gejala Bumi Sakit

Selasa, 28 Juli 2020 | 09:40 WIB
Save The Children: Rekor Suhu Tertinggi dan Covid-19 Jadi Gejala Bumi Sakit
Ilustrasi virus Corona Covid-19. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Analisa Save the Children menunjukkan telah terjadi penurunan yang dramatis dalam diskusi dan wacana publik tentang perubahan iklim di Asia.

Temperatur bumi tertinggi dan Covid-19 keduanya merupakan sebuah peringatan bahwa manusia harus mengatur ulang hubungannya dengan alam dan menangani krisis iklim. Atau akan menghadapi pandemi yang berpotensi lebih mematikan dan bencana, seperti diingatkan Save the Children, ilmuwan iklim dan pemuda aktivitis.

Sementara itu, isu pandemic ini telah mengalahkan isu darurat krisis iklim di dalam perhatian masyarakat dan juga diskusi-diskusi di wilayah Asia Pasifik serta seluruh dunia. Menurut analisis baru Save the Children, pemanasan global tetap menjadi ancaman nomor satu terhadap masyarakat dan anak-anak.

Berdasarkan data temperatur terpanas bumi, tahun 2020 menjadi satu dari dua tahun terpanas dalam 141 tahun. National Oceanic and Atmospheric Administration di Amerika Serikat melaporkan bahwa paruh pertama 2020 mencatat rekor terpanas kedua. Sebagian ini karena terjadinya panas tertinggi di Siberia di bagian Utara Asia, dimana temperatur rata-rata di bulan Juni lebih dari 5oC di atas normal.

Chairperson Save the Children di Indonesia, Selina Patta Sumbung mengatkan bahwa bumi sedang mengalami demam. Oleh karena itu perlu segera dicarikan pengobatannya.

Baca Juga: Update Covid-19 Global: Jumlah Kasus di Indonesia Hampir Susul Qatar

“Jika tidak, anak-anak hari ini akan mewarisi sebuah planet yang sedang terbakar. Dunia di tengah pandemi akan menjadi ancaman yang konstan dan kehidupan anak-anak kita akan suram oleh krisis iklim yang tidak mereka ciptakan," kata Selina dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Selasa (28/7/2020).

Sementara itu bencana akibat cuaca ekstrim, seperti banjir yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang di Bangladesh, China, India, Nepal dan Indonesia, dan juga kekeringan, menjadi lebih sering terjadi akibat pemanasan global. Menurut Panel Antar Pemerintah terkait Perubahan Iklim (IPCC), rata-rata permukaan laut naik pada 2050, sehingga akan banyak kota-kota di pesisir kawasan Asia Pasifik dan negara-negara kepulauan kecil berpotensi tenggelam.

Banjir dan tanah longsor pasa awal tahun di Jakarta, Banten dan Jawa Barat, yang mengakibakan 64 orang meninggal dan memaksa lebih dari 200 ribu orang mengungsi, disebabkan curah hujan mencapai hampir 400mm/hari. Ini merupakan rekor tertinggi curah hujan sejak tahun 1866. Terbaru adalah banjir dan longsor di Luwu Utara, Sulawesi Selatan 13 Juli lalu.

"Curah hujan sangat tinggi di bulan Juli menunjukkan perubahan iklim yang nyata dan membuat 14 ribu orang lebih terpaksa mengungsi dan 38 meninggal dunia," ujarnya.

Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 90 persen bencana di Indonesia dinominasi oleh bencana hidrometerologis seperti banjir.

Asia Pasifik sendiri merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana. Krisis iklim akan mengakibatkan terjadinya dampak yang sangat merusak (catastrophic) bagi kehidupan ratusan juta orang di wilayah tersebut. Hal itu dijelaskan Profesor Benjamin Horton, Direktur Earth Observatory Singapura sekaligus anggota dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Antar Pemerintahan Dunia dalam urusan Perubahan Iklim.

Baca Juga: Kecurigaan Peneliti, China Sengaja Tutupi Kasus Awal Virus Corona Covid-19

Analisa Save the Children terhadap percakapan di sosial media menunjukkan bahwa jumlah diskusi publik terkait iklim cenderung meningkat secara stabil pada tahun 2019, tetapi menurun drastis ketika Covid-19 menyebar di Asia Pasifik dan sekitarnya. Cocid-19 mendominasi pemberitaan media dan mengakibatkan banyak konferensi dan unjuk rasa– seperti mogok sekolah oleh anak-anak yang dilaksanakan pada tahun 2019 di wilayah Asia Pasifik dan lainnya dibatalkan.

Pada Juli 2020, diskusi publik daring tentang iklim di Asia Pasifik mengalami penurunan hingga setengah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu – berdasarkan analisa di 17 negara. Secara global, diskusi publik daring tentang iklim antara April dan Juni tahun ini merosot 70 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Akan tetapi Save the Children harus memastikan pemerintah hendaknya tidak mengasumsikan bahwa krisis iklim tidak lagi menjadi perhatian publik. Memperingati Hari Koservasi Dunia, organisasi yang concern isu anak terbesar di dunia ini berjanji untuk mendukung suara anak-anak muda untuk membalikan kerusakan terhadap lingkungan yang terjadi beberapa dekade lalu.

“Anak muda aktivis iklim telah mengingatkan kita bahwa manusia telah melakukan penyalahgunaan alam dan isinya di luar batas kemampuannya. Sekarang, kita membayar harga dari pengabaian peringatan mereka itu. Tetapi, kami ingin mengatakan 'bahwa kami mendengar kalian’”, tambah Selina Sumbung.

Selina mengaku sangat sedih melihat krisis iklim yang terjadi dimana-mana. Hal itu tak bisa dilepaskan dari kontribusi manusia, seperti penggunaan plastik. Maka dari itu penggunaan plastik harus dikurangi.

"Ayo kita gunakan barang-barang seperti tumbler dan bawa tote bag kalau belanja ke toko serba ada,” tuturnya.

Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa pandemi yang disebabkan oleh virus binatang akan semakin sering dan meluas. Sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pembabatan hutan dan polusi yang merusak habitat alam liar dan memaksa binatang bersentuhan langsung dengan manusia.

“Akan tetapi, rencana pemulihan Covid-19 membuka kesempatan besar untuk mengurangi risiko pandemi dan bencana ikim," Selina melanjutkan.

"Di samping mendukung penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, rencana pemulihan Covid-19 harus mempercepat perubahan ke ekonomi yang lebih rendah karbon".

Industri yang mendapatkan dananya dari publik harus bertekad kuat dan dapat didorong ke arah kegiatan yang ramah lingkungan. Investasi lebih banyak juga diperutukkan untuk melindungi masyarakat rentan dari krisis di masa yang akan datang.

Selina menambahkan, analisa media sosial Save the Children menggunakan tools Digimind didasarkan pada postingan pengguna yang menyebutkan perubahan iklim dan kata kunci yang berhubungan seperti krisis iklim, darurat iklim, peningkatan suhu global dan pemanasan global. Untuk analisa di Asia Pasifik, kata-kata kunci diterjemahkan dari 9 bahasa – Inggris, Cina, Hindi, Thailand, Tagalog, Burma, Bengali, Vietnam, Khmer dan Bahasa Indonesia. Pencarian dilakukan di 17 negara di Asia Pasifik dengan menggunakan Digimind Historical Search. Periode pencarian adalah Februari – Juni 2019 dan Februari – Juni 2020.

Digimind Historical Search mencakup Instagram, Facebook, Twitter, Blogs, Forum, Koran, Pinterest, Naver, Reddit, Weibo, Tumblr and mengkaji banyak situs. Ke-17 negara di Asia dan Pasifik yakni Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Cina, Fiji, India, Indonesia, Korea, Mongolia, Miyanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura, Srilangka, Thailand dan Vietnam.

Sejumlah kajian ilmiah menemukan adanya kaitan antara gangguan ke ekosistem dan kebiasaan kehidupan mahluk liar, dan peningkatan jumlah pandemi yang diakibatkan adanya transmisi virus dari binatang ke manusia. Gangguan kepada lingkugan memaksa binatang liar dan serangga pindah atau bermigrasi, mendorong mereka berinteraksi dengan manusia lebih sering. Salah satunya adalah penelitian baru-baru ini, lihat Global shifts in mammalian population trends reveal key predictors of virus spill over risk, April 2020, by Christine K. Johnson, Peta L. Hitchens, Pranav S. Pandit, Julie Rushmore, Tierra Smiley Evans, Cristin C. W. Young and Megan M. Doyle.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI