Suara.com - Seorang pakar politik sekaligus pemimpin redaksi World Politic Review (WPR) Judah Grunstein mengungkapkan empat hal yang harus dipertahankan AS ketika pemerintahan Donald Trump runtuh.
Menyadur WPR pada Minggu (26/07/2020) selama ini Donald Trump terkenal kontroversial dalam memimpin AS. Beberapa kebijakan luar negeri yang ia lakukan dinilai merusak aliansi dan merusak kemitraan Amerika.
Bahkan dalam beberapa kasus, ia memberi banyak keuntungan bagi lawannya karena mengambil kebijakan pribadi tanpa perencanaan strategis.
Untuk kebijakan domestik, ia membawa banyak kemunduran bagi warga AS karena jauh dari kata domekrasi dan kerap membantah hukum dalam negeri. Trump juga membawa kemunduran Amerika sebagai pembela HAM di luar negeri.
Baca Juga: Donald Trump Batalkan Konvensi Nasional Partai Republik karena Virus Corona
Menurut Judah Grunstein, Trump tak hanya membawa kerusakan signifikan bagi AS tapi dari sudut pandang berbeda, ia justru memberi beberapa keuntungan.
Ia menilai, setidaknya ada empat kebijakan luar negeri Donald Trump yang layak dipertahankan dan menjadi keuntungan bagi presiden berikutnya jika dimanfaatkan dengan baik.
1. Meningkatnya toleransi terhadap gesekan
Di awal-awal pemerintahan, Trump menekankan retorika berapi-api dalam menghadapi musuh juga sekutunya. Seperti yang terlihat, ia memamerkan hal ini ketika perang dagang dengan China, kampanye tekanan pada Iran dan Venezuela juga ketika berhadapan dengan Korea Utara.
Meski Donald Trump kerap menelurkan kebijakan buruk dan kurang bijaksana, tapi konsekuensinya belum sepenuhnya negatif. Hal ini membuat sekutu kurang puas dan musuh kurang percaya diri tentang AS.
Baca Juga: Disebut Bikin Kesepakatan dengan Donald Trump, Mark Zukerberg Jawab Begini
Kebebasan bertindak yang diinisiasi Trump bisa digunakan untuk mengejar kebijakan luar negeri yang lebih strategis, terutama saat sekutu tersentak untuk melakukan lebih banyak hal dan musuh takut melakukan gesekan.
2. Meningkatnya toleransi terhadap risiko
Kebijakan luar negeri Trump kerap berjalan seiring dengan meningkatnya toleransi terhadap gesekan. Seolah tak takut dengan akibatnya, Trump berani melangkah lebih jauh, mengambil tindakan yang sering disebut ceroboh oleh banyak orang.
Sebut saja otoritasnya atas pembunuhan jenderal besar Iran, Qassem Soleimani, pada Januari meningkatkan prospek nyata konflik militer terbuka dengan Teheran.
Pendekatan sepihaknya terhadap konflik Israel-Palestina sudah melewati garis merah yang diasumsikan mengarah pada kembalinya kekerasan terbuka.
Dalam banyak hal, itu adalah koreksi bermanfaat untuk pendekatan yang 'terlalu menolak resiko' khas pemerintahan Obama. Hal ini bisa dimengerti karena Barack Obama fokus membersihkan kekacauan sistem 'trial and error' peninggalan pemerintahan George W. Bush.
Menurut pakar, pemerintahan sebelum Trump ini cenderung melakukan pencegahan secara berlebihan sehingga seringkali itu mengorbankan keunggulan strategis inisiatif.