Suara.com - Kerusakan lingkungan hidup pascapenambangan terjadi di Desa Mapur, Kecamatan Riausilip, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Sedikitnya 100 hektare lahan yang masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk kekinian dalam kondisi kritis dan gersang.
Minimnya reklamasi pascatambang mengakibatkan kesedihan mendalam bagi masyarakat Desa Mapur.
Pasalnya, dari sekitar 100 ha lahan tambang yang sudah dikelola, baru sekitar 10 ha yang direklamasi. Sisanya, hampir 90 hektar dibiarkan dalam kondisi berlobang.
Baca Juga: Kejati Babel Tetapkan 1 Pejabat PT Timah Jadi Tersangka Kasus Terak
Ketua BPD Desa Desa Mapur Edo Martono mengatakan, sebagai masyarakat asli Desa Mapur, dirinya sangat sedih melihat kondisi hutan di desanya banyak yang rusak pascatambang timah.
"Kenyataan sekarang kita lihat pak, banyak sekali kolong-kolong yang tidak dilakukan reklamasi yang ditinggalkan begitu saja oleh pengusaha tambang ini pak,"kata Edo.
Edo menjelaskan, lahan pascatambang di desanya tersebut sudah dua tahun dibiarkan begitu saja tanpa ada reklamasi.
Kondisi ini membuat masyarakat bingung hendak menuntut reklamasi lahan kepada siapa.
"Kadang kita mau menuntutnya pun enggak tahu mau menuntut ke mana. Ya seperti inilah mungkin dari dua atau tiga tahun kebelakang tidak ada gerakan reklamasi sama sekali, seperti yang kita lihat sekarang,"ungkapnya.
Baca Juga: Perusahaan Ini Tagih Biaya Pengangkutan Selama 10 Bulan ke PT Timah
Dia berharap, pemerintah maupun PT Timah dapat menjalin komonikasi dengan masyarat untuk bersama-sama menjadikan lahan pascatambang dapat kembali produktif.
Sementara diberitakan sebelumnya, Walhi Babel mencatat sekitar 1.053.253,19 hektar lahan di Babel rusak dengan kondisi kritis atau 64 persen dari luas daratan.
Adapun kerusakan hutan terparah ada di Pulau Bangka yakni 810.059,87 hektar (76,91) persen dari daratan Babel.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Jessix Amundian mengatakan, aktivitas tambang timah telah menyebabkan lingkungan baik ruang darat dan pesisir laut di Babel menjadi rusak.
Babel menurutnya, telah kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam kurun waktu 10 tahun.
"Di lain sisi, negara dirugikan dari kegiatan industri ekstraktif ini. Dari tahun 2004 - 2014, ICW mencatat kerugian negara dari timah sebesar 68 triliun rupiah dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pakak ekspor dan penerimaan nonpajak akibat tata kelola yang buruk,"ujar Jessix.
Kontributor : Wahyu Kurniawan