Eks Tapol Papua Cerita Soal Orang Tak Berduit di Lapak Buaya Rutan Salemba

Sabtu, 25 Juli 2020 | 00:05 WIB
Eks Tapol Papua Cerita Soal Orang Tak Berduit di Lapak Buaya Rutan Salemba
Empat dari enam tahanan politik Papua resmi bebas murni dari Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat pada Selasa (26/5/2020) hari ini. [Suara.com/Stephanus Aranditio]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan tahanan politik Papua, Paulus Suryanta Ginting, menceritakan saat masih menjalani masa tahanan di Rumah Tahanan Kelas I Salemba, Jakarta Pusat. Narapidana yang tidak memiliki uang untuk bergabung dengan lapak, maka ia akan ditempatkan di lapak Buaya.

Suryanta mengatakan lapak Buaya itu biasanya diisi oleh anak-anak 'hilang'.

"Anak-anak yang enggak dapat uang, enggak dapat kunjungan, enggak dapet TF-an (transfer uang)," kata Surya dalam sebuah diskusi bertajuk "Cerita di Balik Penjara" yang disiarkan langsung melalui akun YouTube Pembebasan Nasional, Jumat (24/7/2020).

Karena tidak berduit, otomatis lapak Buaya itu terletak di posisi yang paling tidak menyenangkan ketimbang lapak lainnya. Pasalnya, lapak Buaya itu berada tepat di depan toilet sel yang biasanya tidak dilengkapi dengan pintu.

Baca Juga: Kisah Augie Fantinus di Penjara, dari Junior Hingga Jadi Tahanan Senior

"Jadi kalau dia (sedang) makan (yang) dilihat orang (sedang) buang air besar," ucapnya.

Bukan hanya ditempatkan di lapak Buaya. Terkadang ada anak-anak 'hilang' yang ditarik oleh temannya di lapak lain untuk dipekerjakan.

Meskipun mendapatkan upah yang tidak terlalu banyak, pekerjaan yang harus dilakukan pun bukan hal mudah.

"Disuruhnya macam-macam, suruh nembak. Nembak itu masak air di botol, bagian bawah botol plastik itu dibakar pakai plastik indomie jadinya polusi banget," kata Surya.

Surya sendiri ditarik untuk masuk ke lapak Palembang. Namun, sebelum bergabung ia 'dipalak' terlebih dahulu.

Baca Juga: Terjerat Narkoba, Begini Penampilan Catherine Wilson Berbaju Tahanan

Disebutnya dengan uang kebersamaan sebesar Rp 1 juta. Akan tetapi karena para ketua lapak mengetahui Surya seorang aktivis, akhirnya ia hanya diminta Rp 500 ribu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI