Suara.com - Hagia Sophia telah menjadi saksi bisu pergolakan umat manusia dalam 1.500 tahun terakhir. Kristen ortodoks, Katolik, Muslim, hingga sekuler, memberi warna sejarah dari bangunan megah di Istanbul itu.
Setelah 85 tahun tertidur dalam 'selimut' berlabel museum, Hagia Sophia kembali bergejolak. Pasalnya, pengadilan Turki pada 10 Juli 2020, telah mengubah statusnya kembali sebagai masjid.
Dua pekan berselang, bangunan penuh sejarah itu resmi di buka sebagai tempat peribadatan umat Muslim. Presiden Recep Tayyip Erdogan menghadiri peresmiannya dengan ikut melaksanakan sholat Jumat.
Menyadur Sputniknews, Jumat (24/7/2020), keputusan Erdogan mengkonversi Hagia Sophia kembali sebagai Masjid menimbulkan banyak kecaman. Pemimpin gereja Kristen di seluruh dunia berang.
Baca Juga: Papan Nama Masjid Hagia Sophia yang Baru
Respon ini tidak mengejutkan, mengingat sejarah Hagia Sophia yang kaya dan signifikansinya bagi sejumlah denominasi agama di seluruh dunia.
Periode Ortodoks
Hagia Sophia yang juga dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci, dibangun pada tahun 532 hingga 537 atas perintah Kaisar Bizantium Justinian I sebagai katedral Kristen Ortodoks.
Sepanjang periode Bizantium, Hagia Sophia mendapatkan modifikasi ornamen dan mosaik, bahkan hingga ke struktur bangunan.
Hal itu membuat Hagia Sophia ditasbihkan sebagai gereja terbesar di Kekaisaran Romawi Timur.
Baca Juga: Kunker ke Turki, Prabowo Juga Bahas Masalah Pertanian
Konversi ke Katolik
Bangunan megah itu sempat mengalami kerusakan akibat gempa bumi dan kebakaran dalam lima abad pertama keberadaannya.
Setelah mendapat rekonstruksi, Hagia Sophia kembali dihantam kehancuran setelah invasi yang dilakukan Tentara Salib. Berbagai logam mulia abad ke-13 dicuri pada momen itu.
Pada 1204, Hagia Sophia sempat diubah menjadi katedral Katolik Roma selama pendudukan Konstantinopel yang berlangsung hingga 1261, saat kota itu kembali direbut kekaisaran Bizantium.
Kekaisaran Bizantium harus merogoh kocek besar untuk merekonstruksi Hagia Sophia agar bisa kembali ke status semula, katedral Kristen Ortodoks.
Pada tahun 1452, persatuan gerejawi antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik barat didirikan di Hagia Sophia, sebelum kota itu direbut Kekaisaran Ottoman setahun berselang.
Berubah Status Menjadi Masjid
Hagia Sophia, yang dikenal oleh penutur bahasa Turki sebagai Ayasofya, diubah menjadi masjid atas perintah Sultan Mehmed pada tahun 1453.
Sultan Mehmed juga menugaskan renovasi bangunan setelah kerusakan dan penjarahan yang dilakukan oleh pasukan Ottoman selama pengepungan.
Sebuah menara dan mihrab juga dibangun dalam periode tersebut, untuk menjadikan bangunan itu sejalan dengan tradisi Islam.
Selama lima abad berselang, Hagia Sophia tetap menjadi tempat ibadah umat Islam sebelum pemimpin sekuler Turki, Mustafa Kemal Atatürk mengubah statusnya menjadi museum.
Museum Terbesar Dunia
Bangunan itu diubah menjadi museum oleh Kemal Atatürk pada 1935. Hagia Sophia menjadi rumah bagi peninggalan suci dan koleksi besar ikon Bizantium.
Dalam periode inilah, tepatnya pada 1985, bangunan megah kaya sejarah itu masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.
Kembali Dikonversi Menjadi Masjid
Sejak konversi Hagia Sophia menjadi museum, sejumlah permohonan dibuat untuk membalikkan keputusan ini dan menjadikan situs itu lagi sebagai tempat ibadah agama - Kristen atau Muslim, tergantung pihak mana yang meminta.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoan telah berbicara tentang mengubah museum kembali menjadi masjid sejak 2018, sebuah langkah yang dipuji oleh banyak Muslim Turki.
Pada 10 Juli, Dewan Sate Turki akhirnya membatalkan keputusan untuk menjadikan Hagia Sophia sebagai museum. Bangunan itu pun kembali menjadi rumah ibadah umat muslim.
Pembalikan itu dikecam oleh Gereja Ortodoks Rusia, dan kepala Gereja Katolik Roma Paus Francis dan Uskup Agung Ieronymos dari Gereja Ortodoks Yunani Athena dan Seluruh Yunani, dengan surat yang menyebut tindakan itu sebagai “provokasi”.
Kecaman itu direspon Turki dengan menegaskan bahwa keputusan yang dibuat sehubungan dengan status Hagia Sophia harus dianggap sebagai urusan "internal" negara tersebut.