ICJR Dorong Penguatan Peran Jaksa sebagai Pengendali Utama Perkara Pidana

Kamis, 23 Juli 2020 | 02:10 WIB
ICJR Dorong Penguatan Peran Jaksa sebagai Pengendali Utama Perkara Pidana
Ilustrasi pengadilan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Hal ini dapat terlihat misalnya dalam sepanjang 2020 ditemukan banyak kasus-kasus pidana ringan maupun kasus-kasus lainnya yang semestinya tidak layak untuk disidangkan sehingga mendapat banyak perhatian publik karena mencederai rasa keadilan.

Pada awal tahun terdapat kasus Kakek Samirin yang dituntut ke persidangan karena mengambil getah rambung seberat 1,9 Kg yang nilainya hanya setara Rp17.480. Kemudian pada Juni 2020 kembali muncul kasus pencurian ringan tiga buah tandan buah sawit senilai Rp76.500 oleh seorang ibu tiga anak yang didorong karena kebutuhan untuk memberi makan anak-anaknya.

Tidak terkecuali dalam masa pandemi, terdapat pula kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan PSBB yang seharusnya masuk dalam ranah administrasi juga dituntut secara pidana. Lalu yang paling terakhir mencuat konflik individu terkait penagihan hutang melalui sosial media Instagram yang berujung pada penuntutan pidana.

Tidak hanya pada 2020 ini, pada Juli 2018 lalu pun terdapat kasus WA di Muara Bulian, Jambi. WA merupakan korban perkosaan yang hamil dan harus melahirkan secara tidak aman, namun ia justru sempat diputus bersalah di tingkat PN dengan tuduhan melakukan aborsi. Padahal jika jaksa penuntut umum memaksimalkan jalannya asas oportunitas-nya, maka tidak ada kepentingan mempidana korban perkosaan, persis seperti apa yang diputuskan PT Jambi yang melepaskan WA dan dikuatkan juga oleh Mahkamah Agung.

Baca Juga: Jaksa Beberkan Dana Operasional Tak Terbatas Agar Harun Jadi Anggota DPR

"Dalam kasus-kasus tersebut, jaksa seharusnya dapat menggunakan asas oportunitas untuk mengesampingkan perkara atau seponering," terangnya.

Penggunaan asas oportunitas dijamin dalam Pasal 35 huruf c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1) UU Kejaksaan juga mengamanatkan bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Tidak hanya dalam kewenangan seponering, dalam menjamin pelaksanaan asas oportunitas bisa juga di exercise dengan kewenangan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Pelaksanaan asas oportunitas semestinya tidak semata-mata hanya diberikan untuk pejabat dengan kasus-kasus berlatar belakang politis, tetapi seharusnya malah lebih tepat diprioritaskan untuk kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi, utamanya dalam konteks pandemi Covid-19.

Memaksimalkan peran jaksa menggunakan asas oportunitas juga sejalan dengan arah pembaruan hukum di Indonesia yang mempromosikan restorative justice untuk diterapkan dari awal sistem peradilan pidana khususnya ketika proses sebelum persidangan. Arah pemidanaan yang bukan lagi bertumpu pada pembalasan/retributif harus dipahami oleh seluruh aparat penegak hukum yang bekerja dalam setiap tingkatan pemeriksaan perkara pidana, tidak terkecuali jaksa.

Sehingga dalam kasus-kasus seperti itu sebelum melimpahkan ke pengadilan, jaksa perlu mempertimbangkan peluang penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice. Melihat dengan kacamata lebih luas bahwa tujuan intervensi tersebut adalah untuk mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula dan memastikan bagaimana pelaku dapat kembali hidup di tengah masyarakat. Bentuk intervensi tersebut tidak selalu harus melalui penghukuman terhadap pelaku.

Baca Juga: Jaksa Bisa Langsung Tangkap Djoko Tjandra Jika Muncul di Sidang PK

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI