ICJR Dorong Penguatan Peran Jaksa sebagai Pengendali Utama Perkara Pidana

Kamis, 23 Juli 2020 | 02:10 WIB
ICJR Dorong Penguatan Peran Jaksa sebagai Pengendali Utama Perkara Pidana
Ilustrasi pengadilan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berharap jaksa di Indonesia dapat memimpin perkembangan arah perkara pidana sejak dari awal proses penyidikan, mengingat perannya sebagai dominus litis dalam sistem peradilan pidana.

Dalam tataran kebijakan, ICJR mendorong agar kewenangan jaksa khususnya dalam seluruh tahapan proses sebelum persidangan dapat diperkuat salah satunya melalui revisi KUHAP atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Jaksa disebut merupakan pemegang hak 'tunggal' dalam penuntutan (dominus litis) dalam sistem peradilan di Indonesia.

"Oleh karenanya menjadi wajar apabila dalam sistem peradilan pidana yang semestinya dipahami beroperasi secara terpadu, jaksa bertanggung jawab memimpin seluruh tahapan proses pra-persidangan. Sebab dia lah satu-satunya pihak yang nantinya akan menyajikan perkara tersebut di persidangan," kata Erasmus A. T. Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR dalam peringatan Dirgahayu Kejaksaan yang ke-60 melalui keterangan tertulis, Rabu (22/7/2020).

Namun ICJR memandang peran jaksa sejauh ini hanya sekedar meneruskan berkas perkara yang dibuat oleh penyidik untuk disidangkan di pengadilan, tanpa betul-betul berperan secara substansial dalam menentukan arah perkembangan perkara.

Baca Juga: Jaksa Beberkan Dana Operasional Tak Terbatas Agar Harun Jadi Anggota DPR

Misalnya dalam hal penuntutan terhadap pengguna narkotika, jaksa semestinya dapat menggali kebutuhan rehabilitasi dengan tidak harus bergantung pada ada atau tidaknya assessment kebutuhan rehabilitas melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang secara administratif perolehannya di tingkat penyidikan relatif sulit. Jaksa penuntut umum harus melihat kebutuhan tersangka kasus narkotika, dengan memastikan bahwa pengguna narkotika berhak mendapatkan rehabilitasi, berhak dihindarkan dari pemenjaraan.

JPU kata Erasmus, seharusnya bisa menyelamatkan pengguna narkotika untuk tidak dikirim ke penjara, sekalipun TAT tidak dilakukan di penyidikan. Namun dalam proses pra penuntutan, jaksa harus mendorong adanya TAT tersebut.

Kemudian dalam kasus-kasus yang dijerat dengan UU ITE, proses penegakan hukum juga terlampau terpaku pada paradigma yang dibangun oleh penyidik. Pasal-pasal UU ITE yang dalam perumusannya sudah bermasalah, dalam praktiknya kemudian juga banyak ditafsirkan dengan tidak mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum pidana. Misalnya, bagaimana penerapan pasal-pasal UU ITE seharusnya tetap merujuk pada delik-delik di KUHP.

Jika dilihat dari segi pendalaman ilmu hukum, jaksa secara umum dapat dikatakan memiliki tingkat pengetahuan dan keahlian yang lebih tinggi dibanding penyidik dengan latar belakang kapasitas jaksa dalam ilmu hukum. Oleh karena itu, ketika jaksa secara aktif mampu memimpin jalannya pengembangan perkara sejak awal, praktik-praktik penerapan pasal pidana yang keliru tersebut seharusnya dapat diminimalisir.

Misalnya dalam kasus UU ITE sejenis Baiq Nuril di PN Mataram, jaksa harus mampu menilai bahwa praktik penyidikan yang menjadikan Baiq Nuril tersangka dalam tataran norma tidak tepat, Pasal 27 ayat (1) UU ITE harus tetap merujuk pada Pasal 282 ayat (2) KUHP bahwa tindakan tersebut harus ditujukkan ke depan umum, bukan korespondensi pribadi, apalagi korespondensi untuk membuktikan adanya kekerasan seksual.

Baca Juga: Jaksa Bisa Langsung Tangkap Djoko Tjandra Jika Muncul di Sidang PK

"ICJR juga menilai jaksa sejauh ini kurang maksimal dalam menerapkan asas oportunitas yang secara eksklusif berada di bawah kewenangannya," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI