Suara.com - Menteri Hukum dan HAM atau Menkumham Yasonna Laoly mengakui pihaknya kewalahan dengan permasalahan kapasitas lembaga pemasyarakatan, terutama soal narapidana narkotika.
Menkumham beranggapan bahwa sistem penjeblosan tersangka narkotika secara merata ke penjara justru menyebabkan peredaran obat-obatan terlarang itu semakin marak.
Menteri Hukum dan HAM atau Menkumham Yasonna Laoly mengakui pihaknya kewalahan dengan permasalahan kapasitas lembaga pemasyarakatan, terutama soal narapidana narkotika.
Menkumham beranggapan bahwa sistem penjeblosan tersangka narkotika secara merata ke penjara justru menyebabkan penyebaran obat-obatan terlarang itu.
Baca Juga: Anak Berniat Laporkan Deddy Corbuzier ke KPAI, Ada Apa?
"Can you imagine (bisa kamu bayangkan-red), kalau pemakai, kurir, bandar dimasukkan ke dalam penjara, bukan belajar (tapi) pasar!" ungkap Yasonna dilansir dari kanal YouTube Deddy Corbuzier, Selasa (22/7/2020).
Ia mengaku lelah mengurus permasalahan lapas ini, terlebih di jumlah narapidana yang harus dikandangkan semakin bertambah.
"Makanya kami capek banget ngurusin ini. Sekarang di kantor polisi yang belum kami tahan masuk itu sudah puluhan ribu dan ini akan masuk nanti, karena ini covid kan, kecuali yang incracht. Jadi walaupun kami sudah keluarkan 40 ribu (narapidana), now waiting to be in (sudah ada yang menunggu masuk)," sambung Yasonna.
Menteri 67 tahun ini juga membeberkan bahwa ada yang harus diperbaiki dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"Sejak pertama jadi Menteri, saya sudah mau mengoreksi PP 99 tapi karena itu extraordinary crime, yang bilang koruptor, teroris, bandar narkoba, waduh, outcry dari luar itu bilang "Menteri Hukum dan HAM membela koruptor"," kata Yasonna lagi.
Baca Juga: Dicap Sebagai Menteri Titipan, Edhy Prabowo: Yang Penting Nelayan Bahagia
Yasonna menjelaskan bahwa saat menyusun peraturan untuk memberi remisi kepada koruptor telah melibatkan sejumlah pihak seperti Indonesian Corruption Watch (ICW)dan pakar hukum pidana hingga meencapai kesepakatan. Tapi, kesepakatan itu tetap menimbulkan kecurigaan yang ditujukan kepadanya.
Lebih lanjut, Yasonna juga menceritakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan tindakan lanjutan terhadap para narapidana narkotika dari golongan menengah ke bawah yang mendapat perbedaan penanganan dengan masyarakat menengeh ke atas.
"Jadi, sorry to say ya, yang di-assess kalau misal dia pemakai, hanya high profile case, yang kecil-kecil anak-anak yang kasihan itu tidak punya backup. Tapi kalau yang selebriti, waduh.. you name it. Tidak perlu di-assess, cukup direhabilitasi," ungkap Yasonna lagi.
Tak hanya itu, Yasonna kemudian bercerita tentang seorang ibu yang terperangkap kasus peredaran narkoba secara tidak sengaja lantaran dijebak oleh pengedar.
"Jadi kadang-kadang mohon maaf, dalam melihat case, orang terlalu tekstual dalam melihat hukum, diperlukan hati," kata Yasonna lagi.
Untuk kasus tersebut, Yasonna mengungkap bahwa perempuan itu dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Narapidana yang mendapat hukuman 5 tahun penjara tidak akan mendapat remisi jika tidak mengajukan judicial review. Sementara, untuk mengurus judicial review ini perlu mengurus ke penegak hukum.
"Judicial review ini harus diurus ke penegak hukum, you know in this country there is no a cheap one (enggak ada yang gratis di negara ini," tandas Yasonna yang mengaku sudah memecat 250 anggotanya yang terlibat kasus suap urusan judicial review tersebut