Amnesty: Penembakan Ayah dan Anak di Nduga Oleh Anggota TNI Pelanggaran HAM

Rabu, 22 Juli 2020 | 00:05 WIB
Amnesty: Penembakan Ayah dan Anak di Nduga Oleh Anggota TNI Pelanggaran HAM
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua, Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Amnesty International Indonesia menyebut kasus penembakan terhadap dua warga Nduga, Papua, oleh oknum anggota TNI adalah pelanggaran hak asasi manusia. Penembakan terhadap ayah dan anak hingga tewas di Kabupaten Nduga itu menunjukan negara represif di Papua.

Merespon tewasnya dua warga Nduga, Papua, akibat penembakan oleh anggota TNI, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut tindakan tersebut pelanggaran HAM.

“Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).

Oleh karena itu, Amnesty mendesak negara agar segera dilakukan investigasi menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak atas penembakan tersebut. Meski berstatus militer, pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum sesuai perintah Undang-undang TNI.

Baca Juga: Dua Sipil Diduga Ditembak Oknum TNI di Nduga Papua, Warga Turun ke Jalan

"Penyelesaian kasus ini tak cukup hanya disiplin internal maupun di sidang pengadilan militer. Sebab tindakan pelaku bukan hanya pelanggaran disipliner, tetapi merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM," ujar Usman.

Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua, Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua, Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)

Jika otoritas hanya membawa kasus tersebut ke pengadilan militer, itu artinya negara gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia setiap warganya. Termasuk gagal menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara sama keduduannya di muka hukum.

Selain itu, negara juga harus menyediakan reparasi yang meliputi rehabilitasi, restitusi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali penembakan itu kepada keluarga korban. Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan dan diberikan kepada keluarga korban.

“Kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap kali terjadi di Papua," tegasnya.

Usman menambahkan, Amnesty International percaya bahwa terdapat hubungan langsung dan kausalitas antara impunitas dan terus terjadinya penembakan yang menyebabkan pembunuhan di luar hukum di Papua.

Baca Juga: Wahyu Akui Terima Rp 500 Juta Bantu Seleksi Calon Anggota KPUD Papua Barat

"Setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa para pelaku insiden kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan, akan memperkuat keyakinan bahwa memang mereka berdiri di atas hukum," tuturnya.

Sebelumnya Kodam Cendrawasih telah mengonfirmasi dan membenarkan adanya penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, oleh oknum anggota TNI yang bertugas di sana. Insiden tersebut terjadi pada hari Sabtu, 18 Juli 2020.

Berdasarkan kronologi yang dihimpun Amnesty International Indonesia, penembakan terjadi sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Kedua korban atas nama Selu Karunggu 20 thn (anak laki-laki) dan Elias Karunggu 34 thn (ayah). Mereka adalah penduduk sipil berstatus pengungsi pasca peristiwa 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Nduga.

Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Kèneyam, Ibu Kota Kabupaten Nduga. Selama ini korban bertahan di hutan tempat pengungsian yang tidak layak. Dilaporkan banyak yang mati kelaparan di pengungsian tersebut.

Lokasi kejadian bertempat di kampung Masanggorak di pinggir sungai Keneyam, setengah kilometer dari Kota Keneyam. Oknum TNI menembak kedua korban dari pos darurat mereka di pinggir sungai saat keduanya menyeberang sungai.

Saat itu pengungsi yang hendak menuju Keneyam, tapi bersama beberapa pengungsi lain dalam satu rombongan. Mereka berasal dari tiga distrik yang berbeda. Namun kedua korban lebih dulu tiba dibanding yang lain.

Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua, Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua, Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)

Merespon peristiwa ini, Pemerintah Daerah dan masyarakat Nduga turun ke jalan pada Minggu, 19 Juli 2020 dari pagi hingga sore, meminta jenazah kedua korban dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Keneyam. Mereka juga meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik seluruh Pasukan TNI dan Polri dari Kabupaten Nduga.

Warga Papua sudah kerap kali menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh oknum-oknum aparat negara. Pada 2018, Amnesty International Indonesia menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua. Sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 95 warga yang meninggal diduga akibat pembunuhan oleh aparat keamanan.

Dalam 34 kasus pelakunya dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari TNI, dan 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.

Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional tentang perlindungan terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6 ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.” Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI