Suara.com - Sejak ditunjuk menjadi rujukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) untuk menangani pasien ibu hamil selama Pandemi Covid-19, pihak Rumah Sakit Khusus Daerah (RS) Dadi Kota Makasaar mengaku kewalahan.
Apalagi, ada pasien ibu hamil yang kemudian berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Rumah Sakit Dadi, Arman Bausat menyatakan, jika rumah sakitnya telah menjadi pusat rujukan untuk menangani pasien ibu hamil sesuai ketentuan yang disampaikan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah pada awal Juli 2020 lalu.
"Kami sekarang ini menjadi pusat rujukan untuk ibu hamil karena sebelumnya diarahkan ke Rumah Sakit Pertiwi untuk ibu hamil. Kalau ndak salah 1 Juli," kata Arman saat ditemui di RS Dadi Makassar, Sabtu (18/7/2020).
Alasan, pemprov menunjuk RS Dadi Makassar menjadi pusat rujukan, dikarenakan RS Pertiwi Makassar yang sebelumnya menangani pasien ibu hamil tidak memenuhi standar.
Baca Juga: Bolehkan Jenazah PDP Corona Dibawa Pulang, Dirut RSUD Makassar Dipecat
"Karena sarana di Pertiwi gedung yang tidak memenuhi standar, makanya pak Gubernur memutuskan menunjuk RS Dadi karena kami ada gedung di belakang, gedung angrek memang khusus untuk kamar operasi. Ada 60 tempat tidur yang kami siapkan dan sekarang penuh," ujar Arman.
Setelah menjadi pusat rujukan, ternyata penanganan pasien di RS Dadi Makassar tak berjalan mulus. Apalagi, di masa pandemi seperti sekarang ini. Banyak kasus yang terjadi di RS Dadi Makassar, salah satunya penanganan pasien ibu hamil.
"Ini ibu hamil ternyata banyak juga menderita Covid, rata-rata di sini hampir tiap hari operasi, minimal 3 satu hari. Kenapa minimal tiga, karena banyak sekali. Semua menuju ke sini, dari kabupaten juga ke sini. Makanya kami juga kelabakan," ungkap Arman.
Selain itu, beberapa kasus kematian bayi di RS Dadi Makassar juga kerap menjadi persoalan dikarenakan hasil swab bayi yang meninggal dunia kelamaan keluar. Akibatnya, keluarga pasien pun kadang ada yang mengamuk. Mereka ingin mengambil jenazah untuk dapat dimakamkan secara normal tanpa harus menunggu hasil swab.
"Yang masalah selalu kalau ada yang meninggal belum ada hasil swab, selalu berteriak mana buktinya, mana swabnya. Kenapa saya punya keluarga dibilang PDP," katanya.
Baca Juga: Marak Warga Paksa Bawa Pulang Jenazah Corona, Polisi Jaga RS se-Makassar
"Sudah ada beberapa kasus kematian bayi di sini. Yang problem kematian bayi, ibu hamil itu semua emergensi. Datang jam 02.00 malam, operasi jam 03.00 subuh ternyata bayinya lahir meninggal. Kan kita tidak tau apakah positif atau negatif bayinya. Kalau di-swab jam 03.00 subuh, paling hasilnya jam 20.00 malam baru bisa. Tinggal negosiasi, kalau mau tunggu," paparnya.
Apabila keluarga korban tidak ingin menunggu hasil swab, katanya, maka secara otomatis jenazah harus dimakamkan mengikuti protokol kesehatan dan gugus tugas.
"Ini kan kerena mamanya status PDP anaknya meninggal dianggap PDP, artinya harus ikuti protokol covid. Makanya ditangkap karena saya bisa dimarahi pak gubernur. Tapi kalau mau bersabar ya, harus menunggu sampai ada hasil karena swab-nya kan dikirim ke Balai Laboratorium Kesehatan (BLK)," jelasnya.
"Tapi InsyaAllah minggu depan kami ada PCR (Polymerase chain reaction) sendiri, paling lama 10 hari sudah jalan. Jadi tidak ada lagi masalah. Ada masuk jam 8, jam 12 sudah bisa ada hasil," sambung Arman.
Arman menyebut permasalahan penanganan pasien ibu hamil juga timbul dengan mahalnya harga box bayi. Untuk mengsiasati hal itu, petugas terpaksa membuat box menggunakan bahan triples.
"Bayangkan kemarin kami bikin boks bayi, karena beli boks bayi harganya mahal, Rp 40 jutaan. Terpaksa kita modifikasi, kita bikin boks pake tripleks terus kita belikan kantong bayi saja karena kalau dibelikan semua sampai 50, nanti kalau selesai Covid mau disimpan di mana?" tutup Arman.
Kontributor : Muhammad Aidil