Kondisi Buruk Lapas Kembali Diungkap, ICJR: Reformasi Kebijakan Pidana

Selasa, 14 Juli 2020 | 12:20 WIB
Kondisi Buruk Lapas Kembali Diungkap, ICJR: Reformasi Kebijakan Pidana
Ilustrasi penjara. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Erasmus menambahkan, KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan berdasarkan dua syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum.

Apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena pra-peradilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.

Selain kritik terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif, Permenkumham No. 11 tahun 2017 tersebut juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini. Kritik tersebut juga disampaikan untuk beberapa rumusan dalam RKUHP.

Visi undang-undang di Indonesia yang bernuansa penjara sesungguhnya adalah alasan sederhana mengapa Indonesia menghadapi permasalahan kondisi overvrowded pada rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan. Sebagai contoh lain, dalam Rancangan KUHP yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis, beberapa di antaranya bahkan dapat mengakibatkan over kriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overcrowded. Sebut saja semisal pidana penghinaan yang ancamannya dalam RKUHP mencapai 5 tahun penjara atau pidana zina yang juga mencantumkan pidana penjara 5 tahun pula.

Dalam Naskah Akademik RKUHP, perumus berkomitmen untuk menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan. Namun sayangnya, hingga draft RKUHP September 2019, keberadaan alternatif pidana baru nampaknya tidak akan berdampak positif dalam menangani masalah overcrowding, dengan jumlah yang sangat minim dan banyaknya syarat yang harus diberlakukan.

Tidak hanya terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif dan minimnya alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, Permenkumham No. 11 Tahun 2017 tersebut secara jelas mengkritik adanya kebijakan narkotika yang punitif dengan mengatakan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada masalah pemenuhan hak kesehatan penghuni Lapas.

Baca Juga: Sengketa Pers Bukan Tindak Pidana: ICJR Kirim Amicus Curiae Kasus Diananta

Maka sudah bisa ditebak tingginya jumlah pengguna narkotika sangat berpengaruh terhadap jumlah Tahanan/Narapidana kasus penyalahgunaan narkotika yang masuk ke dalam Lapas/Rutan, meskipun tempat terbaik yang dibutuhkan mereka adalah pusat rehabilitasi.

"Peningkatan pemenjaraan pada pengguna narkotika tersebut dipastikan berbanding lurus dengan prevalensi HIV/AIDS di Lapas/Rutan," ujar Erasmus.

Hal ini disinyalir terjadi melalui peredaran gelap narkotika yang tak henti-hentinya diselundupkan ke dalam penjara dan praktik seksual yang tidak aman yang terjadi di Lapas/Rutan. Jumlah tersebut tentunya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan untuk menyadari bahwa penanganan penyalahgunaan narkotika di Lapas/Rutan memerlukan special treatment.

Sebagai catatan, kebijakan narkotika yang mempromosikan pemenjaraan adalah kebijakan yang usang dan telah gagal di banyak negara. Meneruskan kriminalisasi terhadap pengguna dan pecandu narkotika sama dengan meneruskan kegagalan.

Per Maret 2020, 55 persen WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya di Februari 2020, 68 persen WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.

Dokumen Permenkumham No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya bisa jadi kunci pemerintah untuk melakukan evaluasi mendasar dari kebijakan pidana di Indonesia. Reformasi kebijakan pidana ini pun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Pemerintah yang berkomitmen untuk mengarusutamakan penggunaan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana. Salah satu poin penting dalam penggunaan Restorative Justice juga sejalan dengan menghindarkan penahanan secara eksesif, menjamin optimalisasi alternatif penahanan non pemenjaraan dan mereformasi kebijakan narkotika untuk kembali pada pendekatan kesehatan masyarakat dengan menjamin pengguna dan pecandu narkotika tidak dikriminalisasi.

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan merekomendasikan Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap upaya reformasi hukum pidana.

"Pemerintah segera mengubah kebijakan punitif menjadi kesehatan masyarakat untuk menangani narkotika dan menyelaraskan kebijakan pidana dengan semangat menghapuskan stigmatisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika," pungkasnya.

Koalisi Pemantau Peradilan ini terdiri dari ICJR, IJRS, LeIP, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, YLBHI, PBHI, LBH Jakarta, ICEL, ICW, PSHK, Imparsial, Puskapa, LBH Apik, dan PILNET Indonesia.

Baca Juga: Autopsi Jasad Bule Pemerkosa 305 Anak, RS Polri Tunggu Kedubes Perancis

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI