Pandemi Corona Antar Seorang Ibu Hadapi Memori Kelam Pembunuhan Anaknya

Senin, 13 Juli 2020 | 21:34 WIB
Pandemi Corona Antar Seorang Ibu Hadapi Memori Kelam Pembunuhan Anaknya
Pandemi Covid-19 lecut keberanian Yuki Tsukamoto (53) untuk menghadapi memori kelam pembunuhan putrinya. [Dok. The Asahi Shimbun/Masato Yanagidani).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sudah 19 tahun berlalu sejak tragedi pembunuhan yang merenggut nyawa putrinya terjadi. Namun, Yuki Tsukamoto (53) masih ketakutan untuk sekedar memikirkan kembali kisah pahit itu.

Menyadur The Asahi Shimbun, Selama bertahun-tahun, Tsukamoto yang tinggal di Takarazuka, Prefektur Hyogo, Jepang, tak berani memasuki kamar sang anak.

Dia enggan berhadapan dengan barang-barang putri sulungnya yang secara tak langsung bakal membawanya pada kenangan 19 tahun silam.

Namun, pandemi virus Corona yang menghantam Jepang dan ratusan negara di dunia sejak Desember 2019, memberi keberanian di hati Tsukamoto.

Baca Juga: Keji! Janda Diperkosa 7 Lelaki, Sempat Buang Air Lantas Dirudapaksa Lagi

Dengan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selama pandemi, Tsukamoto akhirnya melakukan sesuatu yang selama ini tak mampu dilakukannya.

Dia menaiki tangga ke lantai dua, membuka kamar yang sudah lama tak pernah disambangi guna membersihkan barang-barang putrinya yang telah meninggal.

Putri Tsukamoto yang bernama Kana, merupakan satu dari delapan anak yang terbunuh dalam tragedi serangan pisau di Sekolah Dasar Ikeda di Ikeda, Prefektur Osaka, 2001 silam.

Ketika dia melihat buku-buku, pakaian, gambar, dan mainan pudar di ruangan itu, kenangan tentang Kana, yang tewas di usia 7 tahun, membuat Tsukamoto emosional.

Dia tak sadar pertemuannya dengan barang-barang sang anak membuat tetes air mata mengalir begitu saja di pipi keriputnya.

Baca Juga: 3 Artis Ini Punya Restoran Jepang, Milik Ayu Dewi Mewah Abis!

Seekor kutu mati yang terselip di lipatan buku esai milik Kana, menggarisbawahi sudah berapa lama sejak tragedi kelam itu terjadi.

Pada 8 Juni 2001, seorang pria--yang telah dieksekusi pada 2004--memasuki sekolah dengan pisau.

Dia secara brutal menebas dan menikam tujuh anak perempuan kelas dua dan satu anak laki-laki kelas satu. Disamping itu, 15 siswa dan guru juga terluka.

Pandemi Covid-19 lecut keberanian Yuki Tsukamoto (53) untuk menghadapi memori kelam pembunuhan putrinya. [Dok. The Asahi Shimbun/Masato Yanagidani).
Pandemi Covid-19 lecut keberanian Yuki Tsukamoto (53) untuk menghadapi memori kelam pembunuhan putrinya. [Dok. The Asahi Shimbun/Masato Yanagidani).

Pandemi Covid-19 Lecut Keberanian

Sejak tragedi pembunuhan massal itu, Tsukamoto telah bekera sebagai pengasuh anak. Tapi, pusat penitipan anak tempatnya bekerja tak banyak kedatangan pelanggan di masa pandemi Covid-19.

Dengan adanya pembatasan sosial yang diterapkan Jepang beberapa waktu lalu, Tsukamoto praktis lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Di tengah waktu luang, dia kerap membersihkan rumah orang tuanya yang terletak tak jauh dari kediamanya.

Saat itulah Tsukamoto teringat dengan barang-barang milik putri sulungnya. Dia khawatir apabila terkena Covid-19, kamar dan barang milik sang anak tidak ada yang membersihkan.

Sejak lama, Tsukamoto tak ingin ada orang lain yang menyentuh barang-barang anaknya. Dia ingin merwatanya sendiri, layaknya sebuah kenangan.

Pandemi Covid-19 lecut keberanian Yuki Tsukamoto (53) untuk menghadapi memori kelam pembunuhan putrinya. [Dok. The Asahi Shimbun/Masato Yanagidani).
Pandemi Covid-19 lecut keberanian Yuki Tsukamoto (53) untuk menghadapi memori kelam pembunuhan putrinya. [Dok. The Asahi Shimbun/Masato Yanagidani).

Proses Merelakan

Kegiatan bersih-bersih yang dilakukan Tsukamoto terhadap kamar dan barang-barang sang anak membawanya pada ketentraman batin.

Dia mulai memilah-milah barang mana saja yang harus segera dibawa ke pengepul sampah dan barang mana saja yang seharusnya dia tetap simpan dengan rapi.

Saat membaca buku esai yang diberikan sekolah kepada masing-masing ibu setelah tragedi pembunuhan itu, Tsukamoto menangis.

Dia tak kuasa membendung air mata kala menemukan seuntai rambut kusut milik Kana.

Tsukamoto tak menampik terlalu diliputi emosi saat memilah dan membongkar barang-barang putrinya.

"Aku tidak hanya membuang barang-barangmu, Kana. Saya juga membuang (beberapa barang milik) kakek dan nenek, karena kami adalah keluarga," ujar Tsukamoto dalam hati kepada Kana.

Tsukamoto memutuskan untuk menyimpan piyama yang dikenakan Kana di pagi hari sebelum dia terbunuh.

Sang ibu berkata bahwa dia masih perlu waktu untuk memikirkan apakah akan membuang barang-barang lainnya.

"Ini adalah proses langkah demi langkah. Aku akan mencoba lagi ketika aku memiliki keberanian untuk membuat keputusan," jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI