Bapak dua anak itu mengaku tidak mengetahui bahwa hari ini adalah dimulainya tahun ajaran baru, termasuk proses belajar mengajar dilakukan secara daring.
"Saya baru tahu saat Ega yang jelaskan. Maklum, biasanya ibunya yang mengurusi semua," kata warga Mrutu, Kalianyar, Surabaya, itu sembari tertawa.
Tentang proses belajar di rumah, Paidi mengakui bahwa metode tersebut tidak efektif jika dibandingkan sekolah di kelas atau secara tatap muka.
Namun, sebagai orang tua ia tak bisa berbuat apa-apa dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
Baca Juga: Gugus Tugas COVID-19: Jika Sekolah Dibuka, 1 Kelas Hanya 25 Persen Murid
"Kalau boleh memilih, ya lebih senang anak sekolah di kelas. Tapi karena pandemi ini dan Surabaya masih zona merah maka kami sebagai orang tua ingin yang terbaik saja," katanya.
Hal senada disampaikan Djumadi, kakek dari Kenaldric Rafa Amiruzzaman, siswa kelas 1-B SD Al Falah Darussalam, Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, yang melihat bahwa proses belajar via daring tidak bisa menjadi aplikasi pendidikan sesungguhnya.
"Ini karena metode transfer ilmu kurang maksimal, juga pendidikan komunikasi sosial dengan kawan, guru dan tingkah laku kurang tercapai. Semoga situasi bisa segera pulih agar proses belajar mengajar bisa kembali normal," katanya.
Mas Joe, sapaan akrabnya, pagi tadi mengaku juga sempat menyiapkan segala peralatan untuk sekolah daring bagi cucunya yang sudah berseragam sekolah lengkap, berbaju putih merah, berdasi dan bertopi.
"Karena pertama, dia sempat salah tingkah, tapi senang. Meski tahu kalau daring, tapi dia sudah siap sejak pagi seperti mau berangkat ke sekolah beneran," katanya.
Baca Juga: Nasib Buruk Penjual Seragam Sekolah di Balik Anjuran Belajar di Rumah
Zona merah