Suara.com - Program Kartu Prakerja yang diluncurkan oleh pemerintah pada 11 April 2020, telah menuai banyak kritik dari masyarakat.
Mulai dari munculnya potensi konflik kepentingan, tidak tepatnya sasaran penerima manfaat, soal adanya dugaan maladministrasi, hingga adanya potensi kerugian negara yang terjadi berdasarkan kajian dari KPK.
Untuk meredam kritik dari masyarakat, pemerintah malah menerbitkan aturan perubahan mengenai pelaksanaan program kartu Prakerja melalui Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2020.
Menyikapi hal itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Perpres baru tersebut dicabut.
Baca Juga: Singgung Pemda soal New Normal, Jansen: Jangan Salahkan Pemda Pak Jokowi
"Kami mendesak Presiden Jokowi mencabut Perpres 76/2020 dan menghentikan sementara pelaksanaan program kartu prakerja hingga ada hasil evaluasi menyeluruh yang disampaikan kepada masyarakat," kata Wana Alamsyah, peneliti ICW dalam keterangan pers, Senin (13/7/2020).
ICW juga mendesak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membuka hasil evaluasi yang telah dilakukan bersama dengan Manajemen Pelaksana mengenai program kartu prakerja yang telah berjalan tersebut. Program ini dinilai disinyalir merugikan keuangan negara di tengah kondisi kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"KPK harus segera melakukan langkah hukum dengan menyelidiki potensi kerugian negara yang muncul akibat pelaksanaan program kartu prakerja," ujarnya.
Alih-alih Perpres baru ini merespons berbagai catatan kelemahan program pra kerja, terdapat empat persoalan baru yang muncul. Pertama, Presiden Jokowi bersikap sewenang-wenang dengan memberikan impunitas kepada Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana melalui Pasal 31B Perpres 76/2020.
Dalam laporan dugaan maladministrasi yang disampaikan ICW kepada Ombudsman RI pada tanggal 2 Juni 2020 lalu, salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah dilakukannya perjanjian kerja sama sebelum terbitnya aturan teknis yakni Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.
Baca Juga: ICW: Tim Pemburu Koruptor Belum Dibutuhkan
Selain itu, Jokowi menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan oleh Platform Digital melalui Pasal 31 B ayat (1) dan Pasal 31B ayat (2) huruf c.