Suara.com - Pengurus LBH APIK Indonesia Asnifriyanti Damanik menyebut pihaknya dan koalisi masyarakat sipil mengusulkan ada tujuh agenda prioritas di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Pertama di dalamnya harus ada sembilan bentuk kekerasan seksual. Kedua ada pengakuan tentang hak korban, keluarga dan saksi.
"Belum ada di dalam peraturan undang-undang yang untuk kekerasan seksual," ujar Asnifriyanti dalam diskusi," ujar Asnifriyanti dalam diskusi virtual dengan tema "Bagaimana kabar RUU P-KS kini dan nanti, Jumat (10/7/2020).
Priorotas ketiga yakni tentang prinsip kewajiban negara perlindungan kepada korban, keempat prosedur hukum yang mempertimbangkan pengalaman perempuan korban termasuk korban dengan disabilitas.
Baca Juga: LBH APIK: RUU PKS Dikeluarkan dari Prolegnas dengan Alasan Tak Jelas
"Jadi nanti pembentukan undang-undang ini, itu harus mendengarkan pengalaman-pengalaman perempuan korban yang sudah kita rangkum," ucap dia.
Kelima, Pelayanan terpadu dan terintengrasi bagi korban.
"Pelayanan terpadu dan terintegrasi bagi korban selama ini kan kerja sendiri-sendiri. Misalnya proses pemeriksaan dari kepolisian atau pengadilan itu kan prosesnya panjang," kata Asnifriyanti.
Keenam yakni pemidanaan dengan ancaman pidana minimal, pidana tambahan, dengan tindakan termasuk rehabilitasi pelaku.
"Ketujuh RUU harus mengatur pencegahan perubahan mindset masyarakat yang selama ini sering kali negatif pada korban serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penghapusan kekerasan seksual," ucapnya.
Baca Juga: Enam Tahun Jadi Budak Seks Ayah Tiri, Anak Putus Sekolah Mengadu ke Bibinya
Adapun 9 bentuk kekerasan seksual yang harus dimasukkan ke dalam RUU PKS kata Asnifriyanti yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.