Suara.com - Pengurus LBH APIK Indonesia Asnifriyanti Damanik menyayangkan dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar prolegnas prioritas 2020.
Kata dia dihapuskannya RUU PKS dengan alasan yang tidak jelas yaitu pembahasannya sulit dilakukan akibat Covid-19.
"Akhir-akhir ini kita mendengar hasil dari rapat Baleg itu dikeluarkan lagi dengan alasan yang nggak jelas juga. Artinya dikatakan itu sulit dan tergantung nanti kebijakan politiknya dari DPR apakah belum ada kepastian, apakah akan juga dimasukkan dalam prolegnas prioritas di dalam 2020 nanti yang itu proses perjalanannya RUU ini," ujar Asnifriyanti dalam diskusi virtual denga tema "Bagaimana kabar RUU P-KS kini dan nanti, Jumat (10/7/2020).
Asnifriyanti menuturkan proses RUU PKS sudah lama diajukan pihaknya dan masyarakat sipil lainnya sejak 2012.
Baca Juga: Enam Tahun Jadi Budak Seks Ayah Tiri, Anak Putus Sekolah Mengadu ke Bibinya
Proses tersebut diantaranya dimulai pengumpulan data-data tentang kekerasan seksual dan melakukan kajian-kajian untuk melihat untuk beberapa banyak bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Kata dia dari 2012, ditemukan 15 bentuk kekerasan seksual.
"Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dari kasus-kasus yang ada dan di tahun 2012 itu dari data-data kasus yang masuk itu ditemukan 15 bentuk kekerasan seksual. Yang kalau kita lihat dalam KUHP kita atau undang-undang kita hanya ada dua bentuk ya kekerasan pencabulan dan pemerkosaan," ucap dia.
Kemudian di tahun 2014 sampai 2016, dilanjutkan penyusunan naskah akademik dan rancangan UU PKS.
Adapun prosesnya melakukan dialog, diskusi, mengundang pakar dan melibatkan berbagai masyarakat
Baca Juga: Kemenkes Buat Tarif Atas Rapid Test, 2 Ribu Anak Alami Kekerasan Seksual
Selanjutnya pada tahun 2017, RUU PKS masuk sebagai program legislasi nasional yang akan dibahas.
"Dari pihak pemerintah sendiri itu mengeluarkan Surpres dan memerintahkan 6 kelembagaan menteri untuk membahas ruu itu dengan menyusun DIM,Daftar inventaris masalah dan 2017 sampai 2019 proses pembahasan itu di Komisi 8," kata Asnfriyanti.
Pihaknya bersama masyarakat sipil terus mendorong pembahasan RUU PKS, namun hingga akhir periode DPR 2019 RUU PKS tak kunjung dibahas.
"Kita ingat waktu itu ada rapat rapat yang berbagai cara ya kalau kita lihat seperti dilulur sampai akhir periode yaitu itu tidak dibahas sama sekali dan memang itu dinyatakan akan masuk ke dalam periode berikutnya tapi tidak Carry over, artinya tidak seperti RUU KUHP yang pembahasan akan berlanjut," tutur dia.
Karena itu ia menyesalkan sudah delapan tahun proses RUU PKS tidak ada perkembangan, malah dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas.
"Mulai seriusnya 2012 sampai sekarang kalau kita lihat 8 tahun itu belum ada perkembangan sama sekali malah yang yang udah masuk prolegnas prioritas malah dikeluarkan lagi," katanya.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI bersama pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, sepakat menarik 16 rancangan undang-undang yang sudah masuk daftar prolegnas prioritas 2020. Salah satu yang ditarik ialah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Kesepakatan itu diambil kedua belah pihak, usai melangsungkan rapat evaluasi bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Baleg DPR, Kamis (2/7/2020).
“Mengurangi 16 rancangan undang-undang dari Program Legislasi Nasional tahun 2020,” kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen Senayan.
Sebelumnya, penarikan soal RUU PKS disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang dalam rapat Baleg DPR. Ia mengusulkan agar RUU PKS dicabut sementara dari daftar Prolegnas Prioritas 2020. Alasannya karena pembahasannya sulit dilakukan untuk saat ini.
"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," kata Marwan.
Ia kemudian mengatakan agar RUU PKS digantikan dengan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Selain itu, saat ini yang menjadi fokus Komisi VIII adalah pembahasan RUU tentang Penanggulangan Bencana.