Maria Lumowa Sempat Berusaha Menyuap Pejabat Serbia Agar Tidak Diekstradisi

Kamis, 09 Juli 2020 | 14:11 WIB
Maria Lumowa Sempat Berusaha Menyuap Pejabat Serbia Agar Tidak Diekstradisi
Penampakan Menkumham Yasonna Laoly saat melakukan ekstradisi buronan Maria Paulina Lumowa dari Serbia. (istimewa).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membeberkan jejak pelarian buron kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa hingga berhasil diekstradisi ke Indonesia pada Kamis (9/7/2020) dari Serbia.

Yasonna menyebut Maria merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.

Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau senilai Rp 1,7 Triliun dengan kurs saat itu, kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.

Baca Juga: Tiba di Indonesia, Wanita Pembobol Bank BNI Rp 1,7 T Langsung Tes Corona

Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.

Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.

Namun, kedua permintaan itu ditolak Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Baca Juga: Pembobol Bank BNI yang Buron 17 Tahun Dijemput Menkumham dari Serbia

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019 berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003.

Yasonna menyebut selama menjalani proses hukum Serbia, Maria sempat berupaya menyuap pejabat di Pemerintah Serbia agar tidak diekstradisi ke Indonesia.

"Kemarin sebelum berangkat berbicara dengan asisten Menteri Kehakiman (Serbia) di bandara, beliau mengatakan ada upaya-upaya ya semacam melakukan suap tetapi pemerintah Serbia comitted," ungkap Yasonna dalam jumpa pers di Gedung VIP Terminal 3 Bandara Soetta, Kamis (9/7/2020).

Keberhasilan ekstradisi Maria Paulina ini juga tak lepas dari asas resiprositas atau timbal balik karena Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015.

Maria Pauline Lumowa dibawa Yasonna dari Serbia dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia 9790 Boeing 777 dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 11.00 WIB, mereka langsung memasuki Gedung VIP Terminal 3 Soetta.

Saat digiring masuk, wanita 62 tahun asal Sulawesi Utara itu menggunakan rompi oranye dan kain penutup kepala dengan tangan terikat. Pelarian Maria akhirnya berakhir setelah 17 tahun kabur dari Indonesia.

Selama digiring masuk, Maria hanya menunduk terdiam dan langsung masuk ke ruang khusus untuk menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai dengan protokol Covid-19 di bandara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI