Suara.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memuji Menkumham Yasonna Laoly yang mengekstradisi bahkan menjemput langsung buronan kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun Maria Pauline Lumowa dari Serbia.
Menurut Mahfud, menteri yang berada di bawah koordinasinya itu telah berhasil menjalankan tugasnya meski secara diam-diam melakukan lobi-lobi ekstradisi Maria Pauline Lumowa dengan pemerintah Serbia.
"Terima kasih ke Menkumham bekerja dalam senyap, tidak ada yang tahu dan tidak ada yang mendengar, bekerja hati-hati, Menkumkam selama setahun itu melakukan komunikasi dengan pemerintah Serbia sehingga pada akhirnya kemarin sudah diserahkan secara resmi melalui proses saling kerja sama Hukum namanya MLE Major Legal System," kata Mahfud dalam konferensi pers di Gedung VIP Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Mahfud menyebut jika terlambat beberap hari dari sekarang maka Indonesia akan semakin sulit memulangkan Maria, sebab wanita asal Sulawesi Utara tersebut merupakan tahanan Serbia yang akan bebas pada 17 Juli 2020.
Baca Juga: Alasan Yasonna Turun Tangan Jemput Buronan Maria Pauline Lumowa ke Serbia
"Bayangkan kalau lewat kira-kira seminggu dari sekarang Kira-kira kemungkinan akan lolos lagi karena pada tanggal 17 yang akan datang masa penahanan di Serbia habis dan harus dilepas kalau tidak segera terjadi kesepakatan penyerahan ini," ucapnya.
Selanjutnya, Maria akan diserahkan ke Bareskrim Polri untuk penahanan dan penegakan hukumnya akan dikerjakan Kejaksaan Agung.
Maria Pauline Lumowa, buron kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun tiba di Indonesia setelah diekstradisi Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dari Serbia pada Kamis (9/7/2020).
Pesawat Garuda Indonesia 9790 Boeing 777 yang ditumpangi Maria dan Yasonna tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 11.00 WIB, mereka langsung memasuki Gedung VIP Terminal 3 Soetta.
Saat digiring masuk, wanita 62 tahun asal Sulawesi Utara itu menggunakan rompi oranye dan kain penutup kepala dengan tangan terikat. Pelarian Maria akhirnya berakhir setelah 17 tahun kabur dari Indonesia.
Baca Juga: Detik-detik Kedatangan Maria Pauline Lumowa di Soetta
Selama digiring masuk, Maria hanya menunduk terdiam dan langsung masuk ke ruang khusus untuk menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai dengan protokol COVID-19 di bandara.
Diketahui, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 Triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003.
Keberhasilan ekstradisi Maria Paulina ini juga tak lepas dari asas resiprositas atau timbal balik karena Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015.