Suara.com - Komnas Pengendalian Tembakau bekerja sama dengan Klaster Riset POLTAX (Politic of Taxation, Welfare, and National Resilience) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia meluncurkan rekomendasi kebijakan 'Pengendalian Prevalensi Perokok dengan Menaikkan Cukai Rokok Menuju SDM Unggul - Indonesia Maju'.
Rekomendasi kebijakan ini diharapkan menjadi salah satu masukan kepada pemerintah dalam melakukan upaya pengendalian konsumsi rokok, terutama dalam kebijakan fiskal di masa pandemi COVID-19.
Pemerintah telah menyusun sejumlah kebijakan baik fiskal maupun non fiskal untuk dapat mengatasi dampak Covid-19. Dalam Perpres 21 Tahun 2020, pemerintah mengimplementasikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk dapat menekan persebaran virus corona melalui penutupan sekolah, tempat kerja, pembatasan di ruang publik, dan pembatasan transportasi.
Pemerintah juga menerbitkan kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi melalui UU No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Regulasi ini memberikan kewenangan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan realokasi kegiatan dan refocussing anggaran agar dapat menjaga stabilitas keuangan pada masa pandemi.
Baca Juga: Prediksi Arah Kebijakan Industri Hasil Tembakau di Era New Normal
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany mengatakan isu krusial dalam penanganan Covid-19 dari aspek pengendalian tembakau mendorong perlunya diskusi pada beberapa aspek. Pertama, peran pengendalian konsumsi rokok untuk dapat menurunkan risiko kelompok masyarakat dengan penyakit penyerta yang sebagian besar diasosiasikan dengan perilaku merokok. Jumlah kasus kematian dengan penyakit penyerta tidak hanya membutuhkan edukasi kesehatan masyarakat untuk berhenti merokok namun juga dorongan kebijakan yang mendukung.
Kedua, di aspek keuangan, keseimbangan fiskal harus dijaga untuk dapat memastikan pemerintah memiliki anggaran penerimaan yang memadai untuk mengatasi pandemi.
"Cukai rokok dapat menjadi salah satu instrumen fiskal yang menjawab dua aspek di atas," kata Hasbullah dalam keterangan pers, Selasa (7/7/2020).
Pada satu sisi bermanfaat untuk menurunkan prevalensi perokok dan revenue yang didapatkan dari cukai rokok harus digunakan untuk kegiatan yang dapat mengurangi eksternalitas negatif konsumsi rokok (earmarking). Atau digunakan untuk kepentingan kesehatan lainnya, semisal untuk penanganan wabah Covid-19.
Selain itu, alokasi anggaran dan prioritas pemerintah saat ini didorong agar sejalan dengan berbagai peraturan dalam mengatasi pandemi dengan mengarahkan fokus utama pada penanganan Covid-19 yang tercermin dari anggaran dan prioritas kegiatan.
Baca Juga: 6 Bulan Beroperasi, Sindikat Pengedar Tembakau Gorila Raup Miliaran Rupiah
Prioritas penanganan Covid-19 ini menjadi tantangan tersendiri bagi prioritas pemerintah lainnya, termasuk pada pengendalian jumlah konsumsi perokok di Indonesia.
“Dengan adanya fokus utama penanganan Covid-19 selama tiga tahun ke depan, pemahaman stakeholder atas pentingnya program lainnya yang menunjang. Seperti pengendalian konsumsi rokok dan internalisasi perilaku hidup sehat, akan mendukung ketahanan negara dan masyarakat,” terangnya.
Sejalan dengan tantangan pemerintah pada masa penanganan Covid-19 dan tantangan pada upaya penurunan prevalensi perokok di Indoensia, Komnas Pengendalian Tembakau berinisiatif untuk membuat sebuah forum diseminasi rekomendasi kebijakan yang disusun oleh tim Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia yang dikepalai oleh Prof Haula Roosdiana.
Guru Besar Kebijakan Perpajakan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA-UI, Haula Roosdiana menyampaikan rekomendasi kebijakan ini ada lima butir. Di antaranya, pertama fegulasi pemerintah tentang cukai semestinya memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengendalikan eksternalitas konsumsi rokok. Kedua, meningkatkan tarif cukai rokok secara signifikan sehingga menghasilkan kenaikan harga rokok yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin dan anak-anak.
Ketiga, sifat adiktif pada rokok atau produk turunan tembakau lainnya membuat kebijakan cukai harus didesain dengan asumsi bahwa konsumsi relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga rokok yang ditimbulkan oleh kenaikan tarif cukai dan inflasi. Kecuali apabila telah melampaui batas keterjangkauan harga rokok oleh masyarakat umum. Dalam hal ini, misalnya harga rokok minimal mencapai nilai Rp50 ribu per bungkus.
Keempat, memperkuat kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang mendukung kebijakan fiskal misalnya mengatur iklan, menetapkan kawasan tanpa rokok, mengatur penjualan rokok terutama bagi kelompok rentan, serta upaya kampanye berhenti merokok.
Mengingat besarnya eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok, kebijakan fiskal atas hasil tembakau tetap harus sepenuhnya mengedepankan fungsi mengendalikan eksternalitas negatif ketimbang fungsi budgetair.
"Menaikkan cukai rokok dapat menjadi aspek yang patut dipertimbangkan dan dilaksanakan dalam masa pandemi ini demi menurunkan konsumsi rokok sekaligus mempertahankan pendapatan negara di masa sulit,” pungkasnya.