RUU PKS dan Absennya Negara

Tim Liputan Khusus Suara.Com
Sabtu, 04 Juli 2020 | 22:00 WIB
RUU PKS dan Absennya Negara
Direktur PKBI Eko Maryadi (DW)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sebagai contoh, dalam masa diam (stay at home) atau bekerja di rumah (WFH) saat pandemi Covid, terjadi tindak kekerasan seksual dalam suatu lingkup sosial, Undang Undang mana yang akan digunakan? UU yang ada, tidak spesifik mengatur perlindungan dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual, karena belum tentu kasus kekerasan seksual masuk kategori KDRT atau perdagangan orang.

Selama lima bulan pertama pandemi Covid (Maret-Juli 2020), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap (Komnas) Perempuan menerima laporan pengaduan kekerasan seksual sebanyak 461 kasus. Dari jumlah tersebut 258 kasus merupakan kekerasan seksual di ranah rumah tangga (terkait KDRT), 203 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas.

RUU PKS harus diprioritaskan dalam pembahasan di DPR dan pemerintah mengingat urgensi dan kebutuhan aturan hukum yang bisa menjangkau wilayah komunitas atau lingkungan sosial tertentu. Dalam banyak laporan kasus kekerasan seksual, pelaku justru merupakan orang yang dikenal korban, anggota keluarga, orang terdekat korban, atau seseorang yang memiliki relasi kuasa atas korban.

Bisa disimpulkan bahwa kekerasan seksual memiliki kompleksitas tersendiri, membutuhkan penanganan yang lebih mendalam, sehingga sangat wajar jika tindak kekerasan seksual diatur dalam aturan hukum tersendiri.

Baca Juga: Selain RUU PKS, DPR dan Pemerintah Tarik 16 RUU Lainnya dari Prolegnas 2020

Pada 2018 dari Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadinya 5258 kasus kekerasan seksual meliputi perkosaan sebanyak 1288 kasus dan pencabulan tercatat 3970 kasus. Dari data yang ada, terbukti bahwa aspek perlindungan bagi korban kekerasan seksual dari negara sangat minim.

Mulai dari akses pelaporan di kepolisian, aspek pembiayaan bukti kekerasan (visum) oleh korban, sampai aspek pemulihan bagi korban, itu tidak jelas menjadi tanggung jawab siapa. Persentase kasus kekerasan seksual yang dilaporkan sampai masuk Pengadilan pun hanya sekitar 30 persen. Belum lagi pemahaman aparat penegak hukum di lapangan yang cenderung memperkuat stigma atau mengabaikan rasa keadilan bagi korban kejahatan seksual.

Contoh kasus kekerasan seksual diantaranya menimpa Baiq Nuril Maknun, seorang guru perempuan di NTB, korban kekerasan seksual oleh kepala sekolahnya. Korban jelas tidak punya akses perlindungan hukum bahkan menjadi korban kriminalisasi UU ITE dengan vonis penjara 6 bulan dan denda 500 juta rupiah.

Senada dengan BPS, Komnas Perempuan merilis data kasus kekerasan seksual pada 2019 terjadi sebanyak 4898 kasus,  menurun dari tahun sebelumnya (2018) sebanyak 5280 kasus. Dari kasus kekerasan seksual pada 2019, Komnas Perempuan membagi dua bagian wilayah kekerasan seksual yakni ranah personal 2807 kasus dan ranah komunitas 2091 kasus.

Cukup mengkuatirkan bahwa dari kedua ranah tersebut, kekerasan seksual yang paling banyak diadukan ialah kekerasan berbasis gender siber (KBGS) -pelaku dan korban pernah terlibat hubungan personal, seperti mantan pacar, mantan suami-istri, atau ancaman kekerasan siber dari orang yang tidak dikenal. Misalnya, ancaman penyebaran video atau gambar bernuansa seksual, hingga ancaman eksploitasi seksual terhadap korban.

Baca Juga: Dibuang dari Prolegnas, Komisi VIII dan Baleg Saling Lempar Soal RUU PKS

Memprioritaskan RUU PKS artinya memperjelas pemihakan negara kepada korban kekerasan seksual yang terjadi di ruang sosial-ekonomi-budaya yang terbuka, maupun di ruang privat atau komunitas. Ini soal memahami konstruksi kejahatan seksual, soal kehadiran negara dalam menyediakan rasa aman, aspek pendampingan dan pemulihan bagi korban, dan terpenting, keberpihakan aparat penegak hukum kepada korban kejahatan seksual.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI