Suara.com - Pemerintah Pusat dinilai lamban dalam penanganan penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia. Langkah-langkah dalam memutus rantai penyebaran wabah itu pun tidak efektif, sehingga di sejumlah daerah kasusnya terus meningkat tajam seperti di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Epidemiolog Pandu Riono berpendapat hal itu karena sejak awal Pemerintah telat dalam mengambil keputusan mencegah penyebaran. Satu-satunya langkah yang tepat sedari awal adalah memberlakukan lockdown, karantina wilayah atau pembatasan sosial.
Lockdown atau karantina wilayah bukan menghentikan semua sektor dan sendi kehidupan di masyarakat, namun membatasi sementara. Tak ada negara di dunia yang lockdown 100 persen menghadapi pandemi ini.
Namun menjaga jarak dan membatasi kegiatan sosial itu penting. Menurutnya yang paling tepat penanganan pandemi sejak awal di dalam negeri adalah social distancing, pembatasan sosial.
Baca Juga: Tak Boleh Sembarangan, Ini Bahan Masker yang Efektif Tangkal Virus Corona
"Kalau transportasi dibatasi sejak awal, tak perlu ada heboh-heboh mudik dan sebagainya," kata Pandu dalam diskusi daring bertajuk Jelang Usai PSBB Transisi yang digelar Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu (4/7/2020).
Menurut dia sejak awal wabah merebak di dalam negeri, Pemerintah sudah gagap. Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai panduan teknis dari UU Kekarantinaan dibuat secara kilat, hanya dalam waktu dua hari setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama virus corona di tanah air pada 1 Maret lalu.
Namun yang aneh lagi, lanjut dia, untuk menentukan karantina wilayah atau yang dipilih dengan PSBB harus ada persyaratan administrasi dari Kementerian Kesehatan. Bahkan Kemenkes sendiri juga tak mengerti soal aturan tersebut, persoalan yang rumit dalam pengelolaan negara.
"Yang paling membuat situasinya agak kacau adalah Kemenkes-nya tidak berfungsi sampai sekarang. Sehingga harus ditanggulangi oleh BNPB," ujarnya.
Padahal wabah ini adalah masalah kesehatan. Hal itu lah yang menyebabkan kenapa intervensi dari negara untuk penanganan pandemi tidak efisien dan tidak optimal di dalam negeri. Sehingga tak heran, usulan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada awal-awal ditolak pemerintah pusat.
Baca Juga: Mutasi Virus Corona Paling Dominan, Sekarang 3 hingga 9 Kali Lebih Menular!
Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini menyatakan, sejak awal ia menyarankan kegiatan penanggulangan Covid-19 harus dipimpin langsung oleh Presiden. Kemudian Presiden memerintahkan semua kementeriannya bekerja ekstra. Bukan baru sekarang yang sudah terlampau jauh tertinggal dari negara lain dalam penanganan dan penurunan grafik penyebaran.
"Seharusnya Presiden Jokowi sejak awal memimpin langsung penanganan dan memerintahkan semua anak buahnya, bukan sekarang. Itulah yang menyebabkan kenapa kita berpanjang-panjang, sehingga sampai sekarang kita tidak efektif dalam mengendalikan pandemi ini," tuturnya.
Dia menambahkan, seharusnya keputusan PSBB sejak awal diterapkan secara nasional. Meskipun kemudian masing-masing daerah menerapkan sesuai kondisi masing-masing, misalnya ada daerah yang hanya PSBB 10 persen, 30 persen. Namun khusus DKI Jakarta PSBB 80 persen.
"Jadi tidak ada pembatasan sosial 100 persen di dunia, karena problemnya berbeda-beda, ada yang sudah siap, ada yang belum siap dan sebagainya," pungkasnya.