Suara.com - Kamis (2/7/2020), Otoritas Palestina (PA) mengumumkan akan memotong gaji puluhan ribu pegawai negeri. Pemotongan gaji tersebut dilakukan setelah aksi protesnya terhadap rencana aneksasi Israel di Tepi Barat menyebabkan krisis keuangan yang semakin dalam.
Menteri Keuangan Palestina Shukri Bishara mengumumkan 132.000 pegawai Otoritas Palestina akan mengalami pemotongan gaji hingga 50 persen. Dengan ketentuan tidak melebihi batas upah minimum pekerja di negara itu yaitu sebesar 1.750 shekels (sekitar Rp7,25 juta) per bulan.
Ekonomi Palestina terpuruk akibat pandemi COVID-19. Kondisi itu kemudian diperparah dengan keputusan Otoritas Palestina yang bulan lalu menolak membayar uang pajak kepada Israel.
Sebagaimana diketahui, lebih dari separuh pemasukan Otoritas Palestina berasal dari penerimaan pajak sebanyak 190 juta dolar AS (sekitar Rp2,72 triliun) per bulan. Pajak itu dipungut dari bea masuk produk impor ke Tepi Barat dan Gaza yang dikirim lewat pelabuhan-pelabuhan di Israel.
Baca Juga: Kecam Aneksasi Israel, Boris Johnson: Jangan Caplok Wilayah Tepi Barat
"Penolakan terhadap uang pajak dan penurunan pendapatan secara umum menyebabkan pemasukan menurun sampai 80 persen," kata Menteri Keuangan Palestina Shukri Bishara seperti dikutip Antara dari Reuters.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebelumnya berencana membawa isu aneksasi untuk dibahas bersama kabinetnya pada 1 Juli. Namun, rencana yang sudah digembar-gemborkan sejak awal merebaknya pandemi itu terpaksa ditangguhkan.
Salah satu alasannya, Israel masih menunggu lampu hijau atau dukungan dari Amerika Serikat atas rencana pencaplokan 30 persen wilayah Tepi Barat.
Lewat aneksasi, Netanyahu ingin memperluas kedaulatan Israel di Tepi Barat dengan membangun permukiman Yahudi dan menguasai lembah Yordania.
Baca Juga: Jeritan Hati Warga Palestina: Susun 10 Bata Saja Pasti Dihancurkan Israel