Suara.com - Hasil penelitian dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mengungkapkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mau menerima uang dari politikus selama masa Pemilu. Bahkan tindakan politik uang tersebut sudah dianggap wajar.
Peneliti SPD, Dian Permata mengatakan ada berbagai macam alasan masyarakat masih menerima uang saat Pilkada seperti pandangan tidak boleh menolak rezeki hingga tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Rata-rata sekitar 60 persen pemilih ketika ditawari politik uang dari kandidat beserta perangkat turunannya mengaku akan menerima. Alasannya, rejeki yang tidak boleh ditolak. Sebagai ongkos coblosan dan sebagai pengganti pendapatan lantaran tidak berkerja pada pada hari itu atau tambahan untuk kebutuhan dapur,” kata Dian Permata dalam diskusi virtual Politik Uang di Pilkada 2020: Madu atau Racun di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Dian menjelaskan angka tersebut didapatkan dari penelitian sebelum pandemi virus corona covid-19 atau dari Januari – Maret 2020 di satu daerah di Pulau Sumatera, di Jawa, dan di Pulau Kalimantan yang melaksanakan Pilkada 2020.
Baca Juga: Komisi II Setuju Perppu Pilkada Jadi Undang-Undang
Jumlah responden dalam penelitian ini 440 orang dengan tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 persen dan margin of error kurang lebih 4,47 persen.
Untuk alasan bahwa politik uang itu rejeki tidak boleh ditolak, Sumatera 34,66 persen. Kalimantan 36,84 persen. Jawa 45,83 persen. Sebagai ongkos pengganti lantaran tidak bekerja pada hari H, Sumatera 24,55 persen. Kalimantan 31,23 persen. Jawa 29,17 persen. Menambah kebutuhan dapur dan keperluan sehari-hari, Sumatera 16,25 persen. Kalimantan, 15,09. Jawa 9,09 persen.
Untuk jenis pilihan, apakah uang atau barang yang diinginkan oleh pemilih jika ditawari politik uang maka untuk Sumatera, uang 64,26 persen dan barang 35,74 persen. Kalimantan 67,72 persen uang dan 32,28 persen barang. Jawa, 76,14 persen uang dan 23,86 persen barang.
“64-76 persen memilih uang ketimbang barang. Ini dilatarbelakangi alasan praktis dan dapat dialokasi sesuai kebutuhan si pemilih. Tentu saja ini juga pastinya linear dengan keinginan si calon pemberi jika ingin menawari. Mudah dan simpel," lanjutnya.
Untuk kategori barang, maka dominan menginginkan sembako. Sumatera 52,53 persen. Kalimantan, 55,43 persen. Jawa 68,25 persen.
Baca Juga: Pilkada Belum Mulai, 379 ASN Sudah Diadukan Terkait Netralitas
Sedangkan untuk bibit/pupuk/alat pertanian dan bibit/pakan/alat perikanan, Sumatera 32,32 persen. Kalimantan, 27,17 persen. Jawa 11.11 persen.
Adapun besaran yang diharapkan pemilih kategori uang, di atas 100 ribu, di Sumatera, 22,47 persen. Di Kalimantan, 39,89 persen. Di Jawa, 64,17 persen.
Meski demikian, Dian menyebut yang perlu diperhatikan Bawaslu adalah pengaruh jual beli suara itu dapat berlanjut kepada preferensi pilihan politik si pemilih.
Untuk Sumatera, si penerima politik uang mau mengikuti arahan pilihan politik si pemberi 54,15 persen. Kalimantan, 60,35 persen. Jawa, 49,62 persen.