Suara.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU–PKS) oleh DPR RI.
Penundaan pembahasan RUU PKS menjadi kesepakatan dalam rapat koordinasi Badan Legislasi dengan Pimpinan Komisi I hingga Komisi XI, pada Selasa (30/6/2020).
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, penundaan RUU PKS yang berulang ini dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual.
"Oleh karena itu Komnas Perempuan mendorong agar DPR RI melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU PKS ini di tahun 2021 bagi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan," kata Siti dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Kamis (2/7/2020).
Baca Juga: RUU PKS Dihapus dari Prolegnas, Bukti Negara Tak Berpihak Pada Rakyat
Alasan DPR menunda pembahasan RUU PKS kali ini adalah karena keterbatasan legislasi akibat wabah Covid-19.
Padahal, RUU PKS merupakan program prioritas legislasi nasional sejak tahun 2014. Saat itu, RUU ini bahkan menjadi janji yang digadang-gadang semua calon presiden, partai pengusung, maupun sejumlah calon anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah.
"Situasi pandemi memang menghadirkan berbagai kendala yang tidak diantisipasi sebelumnya. Namun, Komnas Perempuan perlu mengingatkan bahwa pelaporan kekerasan seksual terus bertambah setiap tahunnya dan semakin kompleks, tidak terkecuali di masa pandemi Covid-19," ujarnya.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan pelaporan kasus kekerasan seksual di tahun 2019 mencapai 4.898 kasus kekerasan seksual. Pada Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal di mana 24 persen atau 170 kasus adalah kasus kekerasan seksual.
Sementara pada ranah komunitas jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus dan 89 persen dari total kasus atau 203 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Di kedua ranah tersebut kekerasan seksual yang paling banyak diadukan adalah kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS) baik yang dilakukan oleh mantan pacar, pacar, bahkan orang yang tidak dikenal dengan berbagai macam bentuk kekerasan. Di antaranya ancaman penyebaran foto dan video bernuansa seksual, mengirimkan atau mempertontonkan video bernuansa seksual, eksibisionis hingga eksploitasi seksual.
"Persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana, struktur dan kultur hukum ditengarai telah menghalangi korban kekerasan seksual, terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan," ungkapnya.
Baca Juga: Pimpinan DPR Sebut Rasional RUU PKS Dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020
Salah satu indikasinya, rendahnya jumlah kasus yang kemudian dapat diproses hukum. Menurut tinjauan Komnas Perempuan, dari 13.611 kasus perkosaan yang dilaporkan dalam kurun 2016-2019, jumlah laporan kasus perkosaan di kepolisian hanya sekitar 29 persen dari yang diterima oleh lembaga layanan di tingkat pertama.