Berdasarkan Laporan Tahunan LPSK 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang. Padahal, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, sepanjang 2019 setidaknya dari 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas, 58 persen diantaranya adalah merupakan kasus kekerasan seksual.
Kedua, Pemerintah abai dengan pemulihan korban kekerasan seksual, dengan mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. Pemerintah pada 18 September 2018 lalu menerbitkan Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual.
Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Sehingga sejak pemberlakuan Perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara.
Baru pada Januari 2020 lalu kemudian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan lampu hijau kepada Kementerian PPPA untuk mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan menggunakan Dana Dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan ataupun Dana Alokasi Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan mengenai pemberitaan ini.
Baca Juga: DPR Mengeluh Pembahasan RUU PKS Sulit, Sujiwo Tejo Sindir Pakai Kwaci
Selama ini, kebijakan pembiayaan visum yang ditanggung negara tergantung pada kebijakan daerah masing-masing, seperti misalnya di DKI Jakarta yang menggratiskan biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak.
Tidak hanya dibebankan kepada Pemerintah Daerah, di beberapa daerah, pembiayaan visum juga seringkali dialokasikan pada dana Kepolisian, yang juga sering dikeluhkan karena ketiadaan anggaran di Kepolisian. Terjadi pula dalam beberapa kasus unit Perlindungan Perempuan dan Anak harus "patungan" untuk membiayai visum.
Ketiga, belum ada mekanisme komprehensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Tersebarnya formulasi hak korban dan pemenuhannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, serta bervariasinya lembaga yang menyelenggarakan menyebabkan permasalah hak korban kekerasan seksual menjadikan permasalahan hak korban kekerasan seksual tidak terkoordinasi dan tidak komprehensif.
Selain itu, perumusan hak-hak korban hanya diatur dengan UU tertentu seperti UU TPPO, UU KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya spesifik untuk korban dalam tindak pidana yang dimaksud dalam UU tersebut. Tdak ada ketentuan dasar yang khusus menjamin bahwa pemenuhan hak korban dapat diwujudkan untuk semua korban kekerasan seksual termasuk yang diatur dalam KUHP.
Dalam konteks hukum acara sekalipun, tidak ada ketentuan khusus yang menjamin pencegahan reviktimisasi korban oleh proses peradilan. Salah satu kemajuan ditunjukkan hadirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang berhadapan dengan Hukum, yang hanya berlaku dalam tahap persidangan. Sehingga keseluruhan proses peradilan belum sepenuhnya menjamin penguatan hak korban kekerasan seksual.
"RUU PKS ini sangat penting untuk segera dibahas dan tetap sebagai RUU prioritas 2020. Penanganan korban kekerasan seksual jelas kompleks dan sulit, maka dari itu memerlukan peran negara, jika negara menyerah karena kesulitan itu, maka korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya," tandasnya.
Baca Juga: RUU PKS Dihapus dari Prolegnas, Bukti Negara Tak Berpihak Pada Rakyat