Mahasiswa Asing Diekspolitasi di Australia: Dia Minta Ciuman

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 01 Juli 2020 | 16:54 WIB
Mahasiswa Asing Diekspolitasi di Australia: Dia Minta Ciuman
Ilustrasi. (ANTARA/AAP Image/Dan Peled via REUTERS/TM)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mahasiswa asing di Australia tetap menjadi sasaran eksploitasi dengan dibayar murah dan dilecehkan secara seksual oleh majikan. Namun, sangat jarang di antara mereka yang membawa kasusnya ke pengadilan.

Laporan terbaru dari University of New South Wales (UNSW) dan University of Technology Sydney (UTS) menyebutkan tidak ada perubahan berarti dalam kondisi mahasiswa asing di dunia kerja di Australia, sejak survei serupa dilaksanakan empat tahun lalu.

Malah pandemi COVID-19 justru semakin memperburuk eksploitasi yang terjadi.

Profesor Laurie Berg dari UTS yang menulis laporan survei menyebutkan potensi eksploitasi saat ini semakin besar.

Baca Juga: Biaya Kuliah di AS Tinggi, Mahasiswa Asing Kian Lirik Negara Lain

"Mahasiswa internasional saat ini lebih putus asa untuk mendapatkan penghasilan, pengusaha mungkin ingin mengurangi biaya, serta pekerjaan semakin langka," jelas Profesor Berg.

Dibayar 7 dolar per jam

Mahasiswa Universitas Sydney asal China, Iris Yao, selama ini bekerja sambil kuliah untuk membantu meringankan beban orang tuanya.

"Orang tua saya bekerja keras untuk membayar uang sekolah dan biaya hidup saya di sini," kata Iris kepada Program 7.30 ABC.

"Saya merasa harus berbuat sesuatu untuk meringankan beban mereka," ujarnya.

Baca Juga: Ketika Mahasiswa Asing pun Jatuh Cinta kepada Minangkabau

Mahasiswa asal China Iris Yao yang bekerja di restoran mengaku hanya dibayar 7 dolar per jam, tiga kali lebih rendah dari ketentuan UMR.

Iris mengaku bekerja membersihkan dapur, mencuci piring, bertugas di bagian pemesanan makanan, dengan upah hanya 7 dolar per jam yang dibayar tunai.

Menurut ketentuan, bayaran ini tiga kali lebih rendah dari upah mininum yang berlaku bagi pekerja berusia di atas 20 tahun.

"Mereka bilang jika saya bisa bekerja lebih baik, maka akan membayar saya lebih banyak. Tapi saya rasa mereka bohong," katanya.

Menurut Preofesor Berg pengalaman Iris ini bukan hal yang jarang terjadi.

"Kasus seperti Iris sudah biasa dialami mahasiswa internasional, yang dibayar kurang, karena itulah pekerjaan yang tersedia bagi mereka," katanya.

"Mereka juga segan untuk memasalahkan hal ini," ujar Prof Berg.

Ketentuan Visa Pelajar di Australia memungkinkan mahasiswa asing untuk bekerja hingga 20 jam per minggu.

Survei UNSW dan UTS melibatkan 6.000 mahasiswa asing dari 103 negara dan setengahnya mengaku dibayar kurang dari upah minimum.

Lebih dari 25 persen menyebutkan dibayar 12 dolar per jam atau kurang dari itu.

Selain itu, mahasiswa asal China justru mengalami kondisi terburuk, dengan 54 persen dari mereka mengaku dibayar rendah.

'Dia minta ciuman'

Selain dibayar murah, para mahasiswa asing yang bekerja sambil kuliah ini juga sangat rentan dieksploitasi secara seksual.

Seperti yang dialami Paula, mahasiswa asal Brasil, yang datang ke Melbourne untuk kuliah di bidang manajemen bisnis.

Kepada Program 7.30 dari ABC, Paula mengaku mengalami pelecehan seksual di tempat kerjanya.

"Dia minta ciuman dan juga pakian dalamku," ujarnya.

"Saya menolak keinginannya yang berusaha memanfaatkan saya secara seksual. Saya juga minta uang saya yang belum dibayarkan," kata Paula.

"Dia kemudian mencoba menghukum saya, mengancam akan memberikan pekerjaan saya kepada pegawai baru," ujarnya.

Paula kemudian berhenti dari pekerjaan tersebut, namun mengaku tertekan untuk menyembunyikan apa yang dialaminya.

"Dia omong besar seakan-akan dia itu orang penting, punya banyak koneksi, dan terus-menerus mengancam melaporkan saya ke Imigrasi," tutur Paula.

Pengalaman serupa dialami oleh Talita, yang juga berasal dari Brasil.

Mahasiswa internasional asal Brasil, Talita, mengaku dipecat setelah mengalami pelecehan seksual.

Ia mengaku rekan kerjanya yang lebih senior mencoba menciumnya dan menawarkan bayaran untuk berhubungan seks.

Talita pun menyampaikan hal ini kepada majikannya.

"Dia berusaha menciumku. Dia menggigit bibirku," ujarnya.

"Saya berusaha melarikan diri tapi dia terus mengejar. Dia bilang, kamu kan butuh uang, saya akan berikan asal tetap bersamaku," jelas Talita.

Dia kehilangan pekerjaan dan pulang ke Brasil setelah kejadian itu.

Kini Talita kembali ke Melbourne dan bertekad mewujudkan mimpinya menjadi koki.

Gugat ke pengadilan

Sejumlah mahasiswa asing yang diwawancarai Program 7.30 mengaku takut untuk menceritakan kisah mereka melalui media.

Menurut Profesor Berg, ada impunitas di kalangan majikan yang membuat mahasiswa internasional lebih memilih diam.

"Siswa-siswa internasional ini jauh dari rumah, kebanyakan tinggal sendirian, tidak akrab dengan sistem hukum Australia sehingga, sayangnya, sangat rentan terhadap eksploitasi majikan."

Salah satu mahasiswa asing yang membawa kasusnya ke pengadilan adalah Jonathan, mahasiswa teknik sipil asal China.

"Upah saya 6.000 dolar belum dibayar menurut aturan tarif penalti," katanya kepada ABC.

Ia butuh waktu dua bulan sebelum akhirnya mendapatkan selisih kekurangan gajinya.

Namun mahasiswa lainnya, Jin, yang membawa kasusnya untuk diadili oleh komisi Fair Work Commission, masih berusaha mendapatkan tiga tahun kekurangan gajinya.

"Jumlahnya sekitar 10.000 dolar," kata Jin kepada ABC.

Mahasiswa internasional asal China, Jin, menggugat tempat kerjanya ke komisi hubungan kerja Fair Work Commission karena dibayar lebih murah dibandingkan staf lainnya.

Ia bekerja untuk perusahaan promosi di toko bebas pajak di bandara Sydney.

Kepada Fair Work, Jin mengaku melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja ritel yang dipekerjakan langsung oleh pengecer. Tapi bayarannya beda.

Namun, majikan Jin berdalih karyawan mereka tidak diatur oleh sistem gaji menurut tarif penalti.

Fair Work juga sudah menyampaikan ke Jin bahwa mereka tidak dapat menyelidiki laporan Jin dan 16 karyawan lainnya.

Fair Work mengatakan perlu waktu berbulan-bulan untuk menentukan cakupan sistem penggajian tarif penalti, termasuk harus melakukan kunjungan lapangan dan wawancara.

"Dalam situasi COVID saat ini, kami tidak dapat melakukan kunjungan lapangan atau wawancara. Juga perusahaan itu sudah ditutup dan mungkin tidak dibuka kembali di masa depan," demikian penggalan isi surat dari Fair Work.

Mantan majikan Jin yang dihubungi Program 7.30 secara terpisah mengaku telah membayar stafnya sesuai dengan ketentuan hukum.

Dana Pensiun Tak Dibayarkan

Bentuk eksploitasi lainnya terhadap mahasiswa asing di Australia yaitu, dana pensiun yang tidak dibayarkan oleh para majikan.

Hal ini terungkap dalam laporan SBS News, mengenai seorang mahasiswa asal Kolombia bernama Andres Puerto yang kuliah S2 di bidang sistem informasi bisnis.

Ia bekerja di sebuah kafe dan toko buku dan sebagaimana pemegang visa sementara lainnya, dia berhak menarik dana pensiunnya lebih awal.

Kepada SBS, Andres mengaku telah kehilangan pekerjaan dan berencana menarik dana pensiunnya.

Ia baru sadar tidak memiliki dana pensiun sama sekali setelah mendapat pemberitahuan dari kantor pajak Australia (ATO).

Ternyata majikan Andres tidak pernah menyetorkan dana pensiun yang berjumlah AU$3.500 selama dua tahun bekerja.

Andres mengaku telah menghubungi langsung majikannya yang katanya hanya berjanji akan membayarnya entah kapan.

Ikuti informasi tentang kuliah sambil bekerja di Australia dari ABC Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI