Divonis 11 Bulan Penjara, 7 Tapol Papua Tak Ajukan Banding

Selasa, 30 Juni 2020 | 07:20 WIB
Divonis 11 Bulan Penjara, 7 Tapol Papua Tak Ajukan Banding
Sebagai ilustrasi: Sidang lanjutan kasus tapol Papua dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU di PN Jakpus. (Suara.com/Stephanus Aranditio).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - 7 tahanan politik Papua tidak mengajukan banding atas vonis makar yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur pada 17 Juni 2020 kemarin sehingga vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah.

Meski menerima vonis, 7 tapol Papua ini tetap merasa pengadilan tidak berlaku adil sebab mereka adalah demonstran yang bersuara atas tindakan rasisme di Asrama Papua Surabaya, bukan pelaku makar.

"Masih terlihat dengan jelas adanya ketidakadilan hukum dalam putusan tersebut, jika dicermati dengan baik dan dikaitkan dengan fakta persidangan serta barang bukti, pandangan dan pendapat para saksi ahli serta saksi yang meringankan dari para terdakwa, selama persidangan berlangsung," kata Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Matheus Adadikam dalam keterangannya, Selasa (30/6/2020).

Dalam kasus ini, mereka meminta pemerintah untuk menghentikan rasisme terhadap masyarakat Papua yang sudah tertanam puluhan tahun menjadi stigma.

Baca Juga: Tujuh Tapol Papua Tidak Terima Disebut Sebagai Pelaku Kriminal oleh Polri

Mereka juga meminta penegak hukum agar tegas dan tidak diintervensi kepentingan politik, termasuk menghapus pasal makar yang dimuat dalam pasal 106 dan 107 KUHP yang selama ini disalahgunakan untuk mejerat orang-orang yang bersuara mengkritik pemerintah.

Kemudian, Adadikam meminta UU RI NO.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Bab II, Pasal 2 ayat 2, Tentang Lambang Daerah sebagai Panji Kebesaran dan Simbol Kultural bagi kemegahan jati diri Orang Papua, dalam bentuk bendera daerah (Bintang Kejora) dan lagu daerah (Hai Tanah ku Papua) yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan diberlakukan kembali.

"Yang kemudian dilarang penggunaannya oleh Pemerintah RI, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007, agar diberlakukan kembali secara mutlak," tegasnya.

Lebih lanjut, mereka juga meminta pemberlakuan Undang-Undang No. 27 tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga termuat dalam UU No. 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Bab XII Tentang Hak Asasi Manusia Psl. 45 ayat 2 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Untuk diketahui, dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020), ketujuh tapol Papua divonis melanggar pasal makar.

Baca Juga: Protes Vonis 7 Tapol Papua, Natalius Pigai: Pengadilan Sesat dan Rasis!

Majelis hakim menyebut mereka terbukti melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Makar, dan harus membayar biaya perkara Rp 5 ribu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI