Penerapan Normal Baru Indonesia Diprediksi Gagal, Kenapa?

Jum'at, 26 Juni 2020 | 13:22 WIB
Penerapan Normal Baru Indonesia Diprediksi Gagal, Kenapa?
Petugas menyiapkan liang lahat untuk jenazah kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penerapan new normal atau normal baru di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia, diprediksi akan berbuah kegagalan. Pelonggaran pembatasan sosial di tengah meningkatnya infeksi jadi salah satu faktornya.

Menyadur The Conversation, Jumat (26/6/2020), I Nyoman Sutarsa, Dosen sekolah kedokteran di Universitas Nasional Australia, dan tiga rekannya menulis artikel mengapa prediski kegagalan normal baru di Indonesia dapat terjadi.

Peningkatan harian kasus infeksi virus Corona di Indonesia kekinian terus melonjak tanpa adanya tanda-tanda melambat.

Namun, pemerintah Indonesia disebut mereka seakan mengacuhkan data, dengan tetap membuka pembatasan sosial demi menghidupkan kembali perekonomian yang terpuruk.

Baca Juga: Kacau, Wujud Kost Mahasiswa Porak Poranda Setelah Ditinggal Karena Pandemi

Pekan lalu, Indonesia bahkan mencatatkan infeksi kasus baru mencapai lebih dari 1.000 perhari, dalam kurun sepekan terakhir.

Pada Rabu (17/6/2020), negara yang dipimpin Presiden Joko Widodo ini bahkan telah menyalip Singapira sebagai negara Asia Tenggara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi.

"Indonesia berada di bawah tekanan untuk membuka kembali ekonominya untuk merangsang pertumbuhan, mengurangi pengangguran dan mencegah eskalasi kemiskinan lebih lanjut," tulis I Nyoman Sutarsa dan kawan-kawan.

"Tetapi arahan normal baru Indonesia menderita tiga kelemahan serius (kurva infeksi tidak menurun, kebijakan yang untungkan sebagian orang, salah kaprah normal baru)."

1. Kurva infeksi tidak menurun

Baca Juga: Kepo Keterangan ProdukBelanja Online, Pembeli Ini Hampir Rugi Rp 1,3 Juta

Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan protokol normal baru pada 15 Mei lalu, kurva infeksi virus Corona di Indonesia justru kian meningkat.

Episentrum penyebaran virus yang awalnya berada di ibu kota DKI Jakarta, kini justru makin meluas dan berpindah ke dareah-daearh lain, terkhusus Jawa Timur.

Menurut I Nyoman Sutarsa, arahan normal baru yang diwacanakan Presiden Joko Widodo terlalu dini dilakukan.

Dari sudut pandang politisi dan pengusahan, pemberlakukan normal baru hanya dilihat dari kacamaata stabilitas sosial, dan mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.

Kondisi pemakaman kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Kondisi pemakaman kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Kurva pandemi Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan, sejak April 2020. Pada 24 Juni, ada 49.009 kasus dengan tingkat kematian 5,3 persen. sehari setelahnya, sebanyak 1.113 kasus baru telah dicatat.

Statistik yang terpampang semakin membuat frustasi lantaran hal itu didapatkan Indonesia melalui tingkat pengujian yang begitu rendah.

Bahkan jadi salah satu yang terendah di dunia. Worldometers.info mencatat Indonesia berada di peringkat 164 dalam tes Covid-19. Per satu juta penduduk, Indonesia hanya mampu mengetes 2.592 orang.

"Dengan tingkat pengujian yang rendah, sistem pelayanan kesehatan yang buruk, pengawasan yang buruk dan kurangnya transparansi data, kebijakan normal yang baru dapat menyebabkan gelombang baru infeksi massal dan menyebabkan gangguan sosial ekonomi jangka panjang," tulis I Nyoman di artikel itu.

2. Kebijakan yang menguntungkan sebagian saja

Normal baru ala Indonesia disebut merupakan kebijakan top-down di mana orang-orang berduit paling diuntungkan dengan adanya pembukaan kembali pembatasan sosial.

Pemerintah Indonesia dikatakan alpa dan mengabaikan fakta bahwa kebutuhan dan kerentanan masyarakat berbeda-beda selama pandemi.

Sejauh ini, I Nyoman cs menyebut pemerintah telah gagal mengakui kebutuhan kompleks sekitar 60-71 persen orang Indonesia yang bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima dan penjaga toko di pasar tradisional.

Pedoman dan protokol yang dijalankan Indonesia kekinian lebih dirancang untuk mengakomodir sektor formal. Hal itu terlihat dari penyampaian pedoman yang dilontarkan mulut politikus maupun pemangku kebijakan seperti, jaga jarak sosial.

Petugas menyiapkan liang lahat untuk jenazah kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Petugas menyiapkan liang lahat untuk jenazah kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Padahal apabila ditilik lebih serius, jaga jarak sosial tak serta merta bisa diterapkan untuk semua kalangan. Para pedagang kecil, contohnya, tidak mungkin bisa menjaga jarak sosial lantaran bisnisnya perlu tatap muka langsung dengan pembeli.

"Protokol kesehatan di bawah kebijakan normal baru mencakup strategi populer seperti menjauhkan sosial dan memakai alat pelindung diri (APD)," tulis artikel tersebut.

"Strategi-strategi ini tetap hanya bisa dijalankan oleh orang kaya. Mereka yang bergantung pada upah harian seperti driver ojek online, tidak mampu tinggal di rumah atau membeli APD."

Narasi-narasi yang dibangun pemerintah dalam upaya menyongnyong normal baru juga kritisi I Nyoman lantaran lebih menempatkan sebagian besar tanggung memerangi Covid-19 pada individu.

"Sementara kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan dan sistem perlindungan sosial, dan menciptakan mata pencaharian berkelanjutan dan ketahanan masyarakat, diabaikan," tulisnya.

3. Salah kaprah normal baru

Protokol normal baru yang dielu-elukan pemerintah Indonesia kemungkinan besar justru menciptakan rasa normal semu bagi sebagian besar masyarakat.

Normal baru disebut I Nyoman seharunya tidak menjadi kerangka utama untuk mengatasi krisis akibat pandemi virus Corona.

Bagi banyak anggota masyarakat, seperti yang terpinggirkan secara sosial, segala sesuatunya itu tidak pernah normal.

Dalam upaya melanjutkan kembali kehidupan, khususnya roda ekonomi, pemerintah dinilai harus menjadikan perlindungan sosial yang adaptif, solidaritas sosial dan ketahanan masyarakat sebagai inti dari arahan tersebut.

"Faktor-faktor penentu utama ini telah terbukti efektif dalam memulihkan mata pencaharian berkelanjutan selama dan setelah krisis, termasuk keadaan darurat kesehatan masyarakat dan bencana alam," tulis I Nyoman dan kawan-kawan.

Pemerintah juga diebut harus mengubah protokol normal baru itu dengan proses bottom-up alih-alih top-down. Hal itu penting agar kebijakan yang nantinya ditekan benar-benar menyentuh kepentingan semua orang.

Peziarah berdoa di pemakaman khusus kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Peziarah berdoa di pemakaman khusus kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

"Kebijakan normal yang baru harus memperhitungkan berbagai kebutuhan orang selama pandemi. Ini membutuhkan data, seperti tentang gender, wilayah geografis, status sosial ekonomi, kecacatan dan pengaturan kehidupan."

Lebih jauh, artikel tersebut juga meminta pemerintah Indonesia untuk belajar dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Selandia Baru yang untuk sementara sukses menurunkan angka infeksi Covid-19 bahkan hingga menyentuh 0.

Sebelum melonggarkan pembatasan sosial, kedua negara lebih dulu memastikan ketahanan sistem kesehatan di samping menunggu angka infeksi benar-benar melandai.

"Normal baru bukanlah fase akhir, melainkan proses untuk membangun ketahanan," tulis I Nyoman cs.

"Memahami risiko yang didistribusikan secara tidak merata sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang adil yang harus mencakup pemahaman struktural yang luas tentang masalah-masalah seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI