Penerapan Normal Baru Indonesia Diprediksi Gagal, Kenapa?

Jum'at, 26 Juni 2020 | 13:22 WIB
Penerapan Normal Baru Indonesia Diprediksi Gagal, Kenapa?
Petugas menyiapkan liang lahat untuk jenazah kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagi banyak anggota masyarakat, seperti yang terpinggirkan secara sosial, segala sesuatunya itu tidak pernah normal.

Dalam upaya melanjutkan kembali kehidupan, khususnya roda ekonomi, pemerintah dinilai harus menjadikan perlindungan sosial yang adaptif, solidaritas sosial dan ketahanan masyarakat sebagai inti dari arahan tersebut.

"Faktor-faktor penentu utama ini telah terbukti efektif dalam memulihkan mata pencaharian berkelanjutan selama dan setelah krisis, termasuk keadaan darurat kesehatan masyarakat dan bencana alam," tulis I Nyoman dan kawan-kawan.

Pemerintah juga diebut harus mengubah protokol normal baru itu dengan proses bottom-up alih-alih top-down. Hal itu penting agar kebijakan yang nantinya ditekan benar-benar menyentuh kepentingan semua orang.

Baca Juga: Kacau, Wujud Kost Mahasiswa Porak Poranda Setelah Ditinggal Karena Pandemi

Peziarah berdoa di pemakaman khusus kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]
Peziarah berdoa di pemakaman khusus kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

"Kebijakan normal yang baru harus memperhitungkan berbagai kebutuhan orang selama pandemi. Ini membutuhkan data, seperti tentang gender, wilayah geografis, status sosial ekonomi, kecacatan dan pengaturan kehidupan."

Lebih jauh, artikel tersebut juga meminta pemerintah Indonesia untuk belajar dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Selandia Baru yang untuk sementara sukses menurunkan angka infeksi Covid-19 bahkan hingga menyentuh 0.

Sebelum melonggarkan pembatasan sosial, kedua negara lebih dulu memastikan ketahanan sistem kesehatan di samping menunggu angka infeksi benar-benar melandai.

"Normal baru bukanlah fase akhir, melainkan proses untuk membangun ketahanan," tulis I Nyoman cs.

"Memahami risiko yang didistribusikan secara tidak merata sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang adil yang harus mencakup pemahaman struktural yang luas tentang masalah-masalah seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial."

Baca Juga: Kepo Keterangan ProdukBelanja Online, Pembeli Ini Hampir Rugi Rp 1,3 Juta

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI