Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) menyoroti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di era kepemimpinan Firli Bahuri Cs periode Desember 2019 sampai Juni 2020.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhan menyebut, berdasarkan hasil kajian, KPK kini tidak lagi dipercaya oleh publik. Sebab, kata dia, kebijakannya kerap kali menimbulkan kontroversi.
"Tak pelak, proses tata kelola organisasi pun menjadi problematika baru di lembaga antirasuah ini. Begitu pula pada aspek penindakan dan pencegahan, yang mana juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan dibanding kepemimpinan sebelumnya," ujar Kurnia melalui keterangannya, Kamis (25/6/2020).
Kurnia menyebut setidaknya ada fokus utama dalam kajian evaluasi ini yang meliputi kinerja penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal organisasi.
Baca Juga: Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo Diperiksa KPK
Pertama, upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan seringkali justru menimbulkan polemik. Hal ini didasari atas minimnya operasi tangkap tangan (OTT), menghasilkan banyak buronan, tidak menyentuh perkara besar, dan juga abai dalam melindungi para saksi.
Padahal, menurut Kurnia instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi.
Kedua, soal fungsi pencegahan belum berjalan optimal. Menurutnya, ini dapat ditelusuri dengan melihat minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Kurnia menganggap kurangnya inisiatif membuat strategi baru untuk pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif.
"Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir," ucap Kurnia.
Baca Juga: KPK Diminta Fokus pada Penanganan Tipikor Berskala Besar
Ketiga, kebijakan internal KPK seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata. Bahkan dengan melihat iklim di lembaga anti rasuah saat ini, praktis publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan.
Hal ini diungkap Kurnia merujuk pada fakta yang terjadi di KPK seperti pengembalian paksa penyidik KPK ke institusi Polri, penafsiran keliru publikasi terkait penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik, dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka.
"Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari Pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik," ucap Kurnia.
Terakhir, fungsi Dewan Pengawas KPK juga dianggap belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Menurut Kurnia, Dewas KPK belum menyampaikan temuan penting terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai lembaga antirasuah tersebut.
"Ini menujukkan bahwa Dewan Pengawas berupaya menutup diri terhadap ragam persoalan di era kepemimpinan Komjen Firli Bahuri. Tak hanya itu, saat merumuskan kode etik, Dewan Pengawas juga tidak lagi mengakomodir pengaturan etik Pimpinan KPK," kata Kurnia.
Maka itu, ICW dan TII merekomendasikan adanya pembenahan dalam bidang penindakan. Sekaligus, untuk memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara.
"Integrasi antara penindakan dan pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK. Pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya pimpinan KPK untuk meminimalisir gimmick politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan," ucapnya.