Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut institusi Polri tercatat paling banyak melakukan praktik penyiksaan terhadap pelaku atau korban saat berhadapan dengan hukum, setidaknya tercatat 48 kasus penyiksaan yang sudah dilakukan Polri. Sementara TNI 9 kasus dan Sipir Lapas 5 kasus.
"Selama satu tahun terakhir kami mencatat ada 62 peristiwa praktik penyiksaan, aktor dominan pelaku penyiksaan masih tinggi terjadi di ranah kepolisian dengan 48 kasus," kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, dalam laporannya periode Juni 2019 - Mei 2020, Kamis (25/6/2020).
Laporan tahunan ini dikeluarkan bertepatan dengan Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 26 Juni 2020.
Rivanlee merinci penyiksaan itu terjadi di Kepolisian Resor atau Polres sebanyak 29 kasus, di Kepolisian Sektor (Polsek) sebanyak 11 kasus, dan Kepolisian Daerah (Polda) sebanyak 8 kasus.
Baca Juga: Polisi Bekuk Pelaku Penyiksaan Terhadap Kucing hingga Tewas
Korban praktik penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terdiri dari warga sipil di 9 kasus dan tahanan atau kriminal murni di 39 kasus.
Alat penyiksaan yang sering digunakan oleh polisi antara lain tangan kosong 35 kasus, benda keras 12 kasus, senjata api 7 kasus, dan sengat listrik 4 kasus.
"Mayoritas biasanya digunakan saat proses intrograsi saat penangkapan sebagai bentuk hukuman dan dorongan dari aparat agar korban atau pelaku mengakui sesuatu," lanjutnya.
KontraS melihat penyiksaan ini dilakukan sebagai jalan pintas untuk menunjukkan relasi kuasa oleh polisi terhadap korban dan juga dilakukan sebagai bentuk penghukuman murni dan mendapatkan pengakuan dari korban maupun pelaku terkait dengan kasus yang disangkakan.
Data ini didapat KontraS dari data pemantauan media, namun mereka juga mengirimkan surat keterbukaan informasi publik kepada Polri (Nomor surat KIP 46/SK-KontraS/III/2020 tanggal 5 Maret 2020).
Baca Juga: Sudah Periksa Saksi, Polri Klaim Tidak Temukan Bukti Penyiksaan Luthfi
Jawaban Polri, jumlah laporan terkait kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri periode Agustus 2019 - Februari 2020 sebanyak 38 kasus.
"Dari 38 kasus tersebut diproses sebagai pelanggaran disiplin sebanyak 23 kasus dan pelanggaran KEPP sebanyak 15 kasus. kasus yang telah selesai sidang dan mendapatkan putusan sidang sebanyak 15 kasus, yaitu sidang disiplin 9 kasus dan sidang Komisi KEPP 6 kasus. sedangkan, jumlah kasus pelanggaran kode etik profesi Polri lainnya sebanyak 462 kasus," ucapnya.
Meski begitu, KontraS mengungkapkan bahwa dari penindakan oleh internal kepolisian itu, pelaku praktik penyiksaan tidak ada satupun yang berlanjut ke proses pidana.
Atas dasar itu, KontraS menyarankan Polri untuk meningkatkan pengawasan terhadap anggotanya agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dengan praktik penyiksaan.
"Mulai dari proses rekrutmen dan seleksi, mekanisme supervisi, serta sejauh mana kontrol formal internal yang sudah atau akan dibangun dapat mencegah penyalahgunaan wewenang secara efektif," pungkasnya.
KontraS juga meminta pemerintah untuk merumuskan peraturan perundang-undangan nasional khusus mengenai penghapusan praktik penyiksaan dengan mengacu pada keseluruhan substansi yang terkandung dalam UN Committee Against Torture (CAT).
Terakhir, melakukan penelusuran perihal pelaku penyiksaan siber yang melakukan manipulasi informasi, doxxing, dan ancaman supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.