Suara.com - Rizki Julianda, M Riski Rianto, dan Rio Emanuel, tiga terdakwa kasus vandalisme yang dicap polisi sebagai bagian dari kelompok Anarko menyampaikan perlakuan yang diterima mereka sejak ditangkap hingga berada di dalam Rutan Polres Tangerang.
Surat itu ditulis oleh Rio dan Riski di secarik kertas yang disampaikan kuasa hukum mereka dari LBH Jakarta.
"Kami sudah ditahan berbulan-bulan, diisolasi tidak boleh bertemu keluarga," tulis Rio mengawali suratnya.
Dalam surat itu, Rio mengaku dirinya diintimidasi oleh pihak kepolisian, surat penangkapan yang diminta mereka pun tidak bisa ditunjukkan polisi.
Baca Juga: 3 Terdakwa Kelompok Anarko Jalani Sidang Perdana di PN Tangerang
"Saya meminta surat penangkapannya, namun tidak tertulis nama kami. Riski dan Aflah langsung diborgol disuruh duduk, wajahnya dipukuli. Setelah itu, kami dibawa ke Polres Tangerang. Di sana kami dipaksa untuk BAP," lanjut Rio.
Mereka menolak dan meminta pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum datang untuk mengurus semuanya, namun polisi menjawab “Sudah malam” dan “Tuhkan pasti LBH”.
Setelah itu, Riski juga dipaksa mengakui bahwa uang yang dimilikinya merupakan uang hasil suruhan vandalisme.
"Riski dipisah, ia dipukuli, ditendangi, ia punya uang cash sekitar Rp 2 juta. Ia dipaksa mengakui bahwa uang itu adalah uang suruhan. Setelah itu, kami dipaksa tes urin, diawasi dan sempat dipukul double stick karena tidak kencing-kencing," ungkapnya.
Sesudah itu, Mereka dibawa ke TKP tempat vadalisme, selama di mobil polisi pemukulan terus terjadi hingga berakhir di Polres Tangerang untuk diperiksa.
Baca Juga: Sidang Perdana Ajakan Makar, 3 Terdakwa Kelompok Anarko Diancam 9 Tahun Bui
Selama diperiksa, mereka terus mengalami intimidasi, kepala ditutup plastik hingga susah nafas dan dada dipukul agar mau mengaku bahwa mereka dibayar.
"Sesudah itu, kami dibawa ke rumah masing-masing, di mobil Polisi bilang 'Kalau di rumah ga boleh ngomong sedikit pun', borgolnya juga ditutupin. Pertama ke kafe Saya, disana ada HP Bagas, Saya dipaksa mengakui kalau itu HP saya," ucapnya.
Sesampainya di rumah, polisi mengambil baju dan almamater mereka diambil, termasuk motor di kafe, dompet, KTP difoto dan diviralkan di media.
"Wajah kami yang difoto Polisi disebarkan. Masuk media dengan isi berita yang tidak adil, kami menanggung sakitnya menjadi kambing hitam," tutur Rio.
Meski begitu, dia mengakui vandalisme yang mereka lakukan hanyalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang mereka khawatirkan kurang baik dalam menangani pandemi virus corona covid-19, bukan untuk mengajak orang menjarah.
Intimidasi fisik itu terus terjadi hingga mereka dibawa ke Unit 3 Kamneg Polda Metro Jaya, mereka kemudian dipaksa menggunakan pengacara dari Polda saja yang bernama Halim.
"Saat tahap 2 di Kejaksaan, kami dipaksa pakai pengacara Halim, padahal kami sudah tanda tangan kuasa bersama LBH," lanjutnya.
Setelah dipamerkan di hadapan media oleh Polda Metro Jaya mereka dipindahkan ke Polres Tangerang, proses pemindahan ini juga tanpa sepengetahuan keluarga.
"Kepada yang mulia Hakim, kami memohon putusan seadil-adilnya, kami sudah sangat tersiksa. Surat ini saya buat sebenar-benarnya dan penuh kesadaran. Tertanda, Rio," tutup surat Rio.
Surat Riski Rianto kurang lebih sama, mereka mengalami intimidasi mulai dari ditodong senjata laras panjang saat penangkapan, pemukulan dibeberapa organ tubuh, serta kami diisolasi dan dipersulit bantuan hukum.
"Semua itu dilakukan agar kami mengakui kalau kami disuruh atau dibayar. Padahal kami sudah jujur kalau kami tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang membayar," tegas Riski dalam suratnya.
Riski menyebut mereka sempat kesulitan mendapatkan bantuan hukum dari LBH seperti apa yang mereka inginkan, bukan pengacara dari polisi.
"Kronologi ini ditulis dengan sebenar-benarnya dengan apa yang kami rasakan. Tertanda, Riski," tutup Riski.
Pihak kepolisian hingga kini belum memberikan respon terkait pengakuan Rio dan Riski melalui suratnya.
Untuk diketahui, Rizki Julianda, M Riski Rianto, dan Rio Emanuel adalah tiga orang pelaku vandalisme di Tangerang, mereka membuat coretan di sudut kota Tangerang dengan tulisan "Kill the rich", "Sudah Krisis Saatnya Membakar".
Ketiganya saat ini tengah menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri Tangerang sejak 15 Juni kemarin, dan sudah sampai di tahap pembacaan eksepsi atau keberatan.
Jaksa Penuntut Umum Tri Haryatun mendakwa ketiganya melanggar pasal 14 dan atau pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 160 KUHP dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.