Suara.com - Sebuah kapal motor yang membawa 94 orang etnis Rohingya terdampar di perairan pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, sekitar pukul 12.00 WIB, Rabu (24/06), kata kepolisian setempat.
Keberadaan kapal yang membawa orang-orang Rohingya itu diketahui oleh tiga nelayan asal Kecamatan Senuddon, Kabupaten Aceh Utara, yang kapal motornya kebetulan sedang melintas di sekitar lokasi.
Keterangan yang dihimpun kepolisian setempat mengungkapkan bahwa kapal yang ditumpangi warga Rohingya itu "nyaris tenggelam".
"Selanjutnya anak buah kapal, Faisal dan dua rekannya membantu mengevakuasi warga negara asing," kata pejabat kepolisian setempat, dalam keterangan tertulis yang diterima BBC Indonesia, Rabu (24/06).
Baca Juga: Corona Hantui Kamp Pengungsi, 15 Ribu Warga Rohingya Dikarantina
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, menegaskan bahwa perlu dilakukan langkah-langkah preventif guna mencegah warga Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya.
Menurut kepolisian, 94 orang Rohingya itu dibawa oleh para nelayan menuju wilayah Kuala Tanah Jamno Aye, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara.
Wartawan di Aceh, Syaiful Juned, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mewawancarai panglima laut Seunuddon, Aceh Utara, M Hasan, yang terlibat dalam mengevakuasi 94 orang etnis Rohingya.
"(Yang menemukan) nelayan, lalu lapor pada saya," kata M Hasan.
Menurutnya, kapal motor yang ditumpangi orang-orang Rohingya itu nyaris tenggelam di dekat perairan Kabupaten Aceh Utara. Kemudian mereka dibantu oleh kapal nelayan KM 2017 nomor 811, ungkapnya.
Baca Juga: Cerita Ratusan Pengungsi Rohingya Ditolak Banyak Negara karena Corona
Dalam perjalanan, kapal nelayan yang membawa warga Rohingya itu mengalami kerusakan, sebelum kemudian dibantu oleh tim kepolisian dan TNI setempat, kata kepolisian.
Aparat kepolisian dan TNI setempat - dipimpin Kapolsek Seunuddon Iptu M Jamil- kemudian mendatangi kapal nelayan tersebut.
Hasil pengecekan menyebutkan bahwa 94 orang tersebut - terdiri 15 pria dewasa, 49 perempuan dewasa dan 30 anak-anak - adalah "warga Rohingya".
Temuan sementara tim polisi dan TNI di lokasi kejadian bahwa kapal motor yang ditumpangi warga Rohingya "masih berada di lokasi", yaitu sekitar empat mil dari Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara.
Tentang langkah yang akan diambil otoritas setempat terhadap puluhan warga Rohingya tersebut, "Sampai saat ini pihak TNI-Polri masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait," demikian keterangan tertulis Polsek Seunuddon.
Sampai Rabu sore, belum diketahui tentang motif 94 orang Rohingya ini meninggalkan tempat tinggalnya.
Tetapi gelombang pengungsi Rohingya - yang menempuh jalur laut di lepas pantai Indonesia - sebenarnya sudah berkurang sejak Thailand dan Malaysia meningkatkan pemberantasan jaringan penyelundup manusia tahun 2015 lalu.
Pada awal Juni 2018, pemerintah Malaysia menahan 270 pengungsi Rohingya setelah kapal mereka terombang-ambing selama dua bulan karena lockdown di Malaysia.
Mereka mengaku kabur dari bagian selatan Bangladesh sejak awal April 2018, namun tidak bisa berlabuh.
Sejak kekerasan marak di negara bagian Rakhine, Agustus 2017 lalu, diperkirakan 700.000 Rohingya mengungsi dan sebagian besar melintasi perbatasan darat ke Bangladesh.
Pemerintah Myanmar dikecam dunia internasional karena dituduh menyerang warga sipil Rohingya, namun mereka menegaskan operasi ditujukan pada militan Rohingya yang menyerang pos-pos polisi dan militer Myanmar.
Orang Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar karena dianggap merupakan pendatang gelap walau sudah tinggal lama di Myanmar.
Langkah preventif
Terkait fenomena yang disebut manusia perahu (boat people) ini, Menlu Retno menegaskan bahwa perlu dilakukan langkah-langkah preventif guna mencegah warga Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya.
"Perlu diambil langkah-langkah preventif agar mereka tidak menjadi korban perdagangan manusia," tuturnya pada Rabu (24/06), sebagaimana dikutip kantor berita Antara, usai menghadiri pertemuan informal para menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) secara virtual dari Jakarta.
Menlu Retno Marsudi menyebut upaya repatriasi ribuan warga Rohingya dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh ke Rakhine State, Myanmar, harus terus diprioritaskan oleh ASEAN, walau rencana repatriasi hingga kini belum dapat terlaksana mengingat situasi keamanan dan pandemi Covid-19.
"Oleh karena itu, upaya untuk mempersiapkan repatriasi harus terus dilakukan dengan menghormati prinsip sukarela, aman, dan bermartabat," kata Retno.
Akhir tahun lalu, para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk membentuk satuan tugas ad hoc guna membantu repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar.
Satgas tersebut akan bekerja di bawah Sekretariat ASEAN untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) berdasarkan laporan tim Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) bersama Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT).
Negosiasi antara Myanmar dan Bangladesh untuk merepatriasi pengungsi Rohingya berlangsung alot, sementara warga Rohingya menolak kembali ke Rakhine karena khawatir akan persekusi dan status kewarganegaraan mereka yang tidak diakui menurut undang-undang Myanmar.
Alih-alih direpatriasi, banyak pengungsi Rohingya justru menjadi korban penggelapan dan perdagangan manusia saat berupaya mencari penghidupan yang lebih baik ke negara-negara lain, melalui jalur laut.