Suara.com - Seorang anggota kepolisian New York dijatuhi hukuman skors setelah terbukti mencekik leher seorang warga kulit hitam. Anggota polisi tersebut diskors setelah aksinya yang terekam dalam sebuah video beredar luars di dunia maya.
Polisi yang identitasnya tidak disebutkan itu dianggap telah melanggar aturan Departemen Kepolisian New York yang melarang penggunaan teknik mencekik tersebut sejak tahun 1993.
Tindakan cepat tersebut diambil kepolisian agar gerakan antirasis yang tengah melanda Amerika Serikat menyusul kematian George Floyd tidak memanas.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Floyd meninggal dunia setelah lehernya ditekan dengan dengkul oleh Derek Chauvin, mantan anggota polisi Minneapolis, pada 25 Mei lalu. Kematian Floyd memicu gelombang aksi unjuk rasa dan kerusuhan berlarut-larut di tengah pandemi COVID-19.
Baca Juga: CEK FAKTA: Bule Amerika Serukan 'Vote Jokowi' Saat Demo soal George Floyd?
"Setelah investigasi cepat yang dilakukan oleh Biro Urusan Internal, seorang petugas kepolisian yang terlibat dalam insiden mencekik yang mengganggu di Queens telah diskors tanpa bayaran," kata Komisioner Departemen Kepolisian New York Dermot Shea lewat Twitter, Minggu (21/6/2020).
"Saat ini investigasi menyeluruh tengah berjalan, namun tanpa keraguan saya meyakini perlu ada tindakan yang segera diambil," ujarnya.
Video yang diunggah ke Internet itu menunjukkan sejumlah petugas kepolisian menahan perut laki-laki tersebut. Satu orang polisi tampak melingkarkan lengannya di leher pria itu.
Pria tersebut kemudian dirawat di rumah sakit pada Minggu malam, sebagaimana dilaporkan NBC News.
Pada Kamis (18/6/2020), Dewan Kota New York meloloskan RUU yang akan memerintahkan anggota kepolisian kota untuk merinci dan menjelaskan alat pengawasannya.
Baca Juga: Mantan Polisi yang Didakwa Bunuh George Floyd Dapat Uang Pensiun Miliaran
Wali Kota New York Bill de Blasio mengatakan akan menandatangani RUU tersebut dan menjadikannya undang-undang.
Undang-undang, yang telah berada dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun, muncul di tengah perubahan-perubahan kebijakan terkait pengamanan setelah kematian George Floyd, yang menyebabkan berbagai unjuk rasa melawan tindakan kekerasan polisi dan rasisme di Amerika Serikat dan seluruh dunia. (Antara)