Jozef Kesecioglu, presiden ESICM dan kepala perawatan intensif di Pusat Medis Universitas Utrecht, Belanda, mengatakan banyak yang menghadiri kursus kilat tentang cara menangani pasien COVID-19.
"Kami memberi mereka pekerjaan dengan tanggung jawab yang ringan, seperti membasuh pasien, membalikkan pasien, memeriksa paru-paru, atau melihat hasil pindaian," kata Kesecioglu kepada Reuters.
"Spesialis perawatan intensif melakukan pekerjaan yang paling rumit, seperti menangani tabung di tenggorokan pasien atau menyesuaikan ventilator mekanis," sambungnya.
Dia berencana untuk memanggil kembali orang yang sama untuk menawarkan mereka lebih banyak pelatihan.
Baca Juga: Pernikahan Berujung Petaka: Ibu mempelai Meninggal, 30 Tamu Positif Corona
Dalam keadaan normal, pekerja perawatan intensif menjalani pelatihan bertahun-tahun, namun Kesecioglu mengatakan "kita tidak harus menunggu sampai gelombang baru datang, kita harus memberi mereka pelatihan reguler."
Belanda sedang berusaha merekrut lebih banyak pekerja terampil dan berharap untuk mempersempit kesenjangan struktural dalam tenaga perawatan intensif, kata Erasmus Medical Center Rotterdam, salah satu rumah sakit universitas terbesar di Eropa.
SIAARTI mengatakan mahasiswa kedokteran yang mengambil spesialisasi perawatan intensif harus diintegrasikan sepenuhnya ke bangsal selama dua tahun terakhir dari lima tahun pelatihan mereka.
Komisi Eropa, eksekutif Uni Eropa, mendanai transfer staf medis lintas batas ke negara-negara yang paling terkena dampak pada puncak krisis corona.
Pada April, tim dokter dikirim dari Norwegia dan Rumania ke Italia.
Baca Juga: Kasus Virus Corona di Malaysia Sudah Lebih dari 8.500
Tetapi percobaan telah gagal mengumpulkan banyak dukungan, dan Cecconi mengatakan memindahkan dokter dari satu negara ke negara lain "harus menjadi pilihan tetapi bukan pilihan pertama," karena hambatan bahasa mungkin membuat mereka kurang efektif. (Antara)