Ingin Bertahan Hidup, Itulah Alasan Pengungsi Ada di Indonesia

BBC Suara.Com
Senin, 22 Juni 2020 | 15:00 WIB
Ingin Bertahan Hidup, Itulah Alasan Pengungsi Ada di Indonesia
[BBC].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setidaknya satu persen penduduk dunia atau 79,5 juta orang melarikan diri dari konflik bersenjata maupun persekusi di kampung halaman mereka pada 2019.

Di Indonesia, pada periode waktu yang sama, jumlah pengungsi diperkirakan mencapai sekitar 13.000 orang.

Sebagian dari mereka adalah orang muda yang berharap masih berpeluang membangun masa depan cerah.

Namun sebagian dari pengungsi muda itu juga mengaku putus asa karena 'bisa makan setiap hari' saja merupakan hal mewah bagi mereka.

Baca Juga: Keren, Teknologi Ford Co-Pilot360 Kini Dilengkapi Fitur Hands-Free

Semua manusia boleh bermimpi setinggi langit, termasuk pengungsi yang tengah hidup tak menentu, jauh dari tanah air.

Itu dikatakan Abdul Kadir Boor, seorang pengungsi asal Somalia yang sejak 2018 tinggal di Indonesia.

Tiga tahun lalu Abdul meninggalkan negaranya yang berkecamuk konflik keamanan, akibat aktivitas kelompok teror Al Shabaab hingga tingkat kriminalitas yang tinggi.

Sebagian anggota keluarganya, kata Abdul, tewas dalam serangan teror, termasuk ayahnya. Tak ingin bernasib sama, bersama istri dan tiga anaknya, Abdul hijrah ke Indonesia.

Mereka datang bukan untuk menetap, melainkan transit sembari menanti peluang ditempatkan secara permanen ke negara penerima suaka oleh badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR.

Baca Juga: Kendaraan Pribadi Jadi Taksi Online? Waspadai Asuransi Mobil Bisa Gugur

"Masa depan yang baik adalah mimpi semua orang. Saya bermimpi suatu hari anak saya bisa jadi anggota parlemen atau bahkan menteri, seperti beberapa pengungsi asal Somalia di Amerika Serikat dan Kanada," ujarnya.

"Saya tidak mungkin meraih tahap itu karena saya sudah berusia 34 tahun, tapi semoga anak-anak saya bisa," kata Abdul.

Harapan Abdul itu berkaca pada pencapaian dua bekas pengungsi asal Somalia bernama Ahmed Hussen dan Ilhan Omar. Hussen kini menjabat menteri di Kanada, sedangkan Omar berstatus anggota DPR Amerika Serikat.

Sejak tiba di Jakarta, Abdul dan keluarganya sudah berkali-kali berpindah. BBC Indonesia pertama kali berjumpa mereka Juli 2019. Kala itu mereka tidur dalam tenda di pinggir jalan raya kawasan Kalideres, Jakarta Barat.

Abdul dan puluhan pengungsi dari sejumlah negara memilih lokasi itu karena dekat rumah detensi imigrasi.

Abdul berkata, hidup dalam tahanan itu lebih baik karena mereka bakal mendapat jatah makan-minum dan tak cemas bakal kehujanan atau diterpa angin kencang kala malam.

Dari Kalideres, Abdul bersama keluarganya pindah ke pinggir Jalan Kebon Sirih, di depan kantor UNHCR. Mereka sempat ditempatkan di pos pengungsian Kalideres dan Bogor.

Saat ini mereka menyewa dua kamar di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, berbekal uang jatah bulanan dari UNHCR yang disebutnya sebesar Rp1,6 juta.

"Setiap orang punya tanah air, kita tidak bisa memilihnya. Tapi saat terjadi perang, kamu pasti tetap ingin bertahan hidup. Itulah kenapa saya berada di Indonesia," ujarnya.

"Rumah adalah tempat di mana saya dan keluarga bisa merasa aman. Tapi sekarang saya tak bisa memilih di mana rumah bagi keluarga saya itu."

"Saya berharap bisa jadi pengungsi beruntung yang dapat kesempatan itu. Mendapat rumah berupa negara baru, di mana keluarga saya bisa bekerja, mendapat fasilitas kesehatan, dan peluang mengejar cita-cita, sama seperti orang-orang pada umumnya," tutur Abdul.

Abdul masih menanti UNHCR memberinya tempat tinggal permanen di negara yang mengikatkan diri dengan konvensi internasional tentang pengungsi tahun 1951. Namun tak ada kepastian kapan dia bisa mendapat peluang itu.

Karena tidak meratifikasi konvensi itu, Indonesia tidak memberikan hak apapun kepada pengungsi, dari hak untuk bekerja, mempunyai rumah, hingga mengikuti pendidikan.

Setiap tahun UNHCR menempatkan pengungsi ke negara ketiga. Pada 2019, terdapat 760 pengungsi di Indonesia yang mereka tempatkan ke Kanada, Selandia Baru, Australia, dan AS.

Adapun pada selama lima bulan pertama 2020, ada 404 pengungsi di Indonesia yang sudah masuk program pemukiman kembali itu.

'Saya putus harapan'

Bagaimanapun, tidak semua pengungsi di Indonesia mampu menjaga asa masa depan. Zakir Husein, pengungsi asal Pakistan berdarah Afghanistan, mengaku sangat terpuruk hidup tanpa kejelasan di Indonesia.

"Saya jauh dari hak untuk bekerja, pendidikan, dan mendapatkan tempat tinggal. Apa yang harus saya lakukan? Dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk hidup secara normal? Ini lebih dari konflik," ujarnya.

"Saya juga tidak bisa kembali ke Pakistan. Jika saya hanya memikirkan diri sendiri, saya akan pulang dan tak risau apakah saya akan hidup atau terbunuh."

"Tapi saya punya keluarga. Jadi saya hanya bisa tinggal di pengungsian ini. Saya tidak memiliki harapan," kata Zakir.

Zakir, yang kini tinggal sementara di pos pengungsian Kalideres, datang ke Indonesia tahun 2017. Ia mengungsi bersama ayah, ibu, istri, serta keluarga abangnya.

Sempat hidup di Jakarta dengan biaya pribadi selama dua tahun pertama, keluarganya kini bergantung pada donasi makanan.

"Saat tiba di Indonesia tahun 2017, keluarga kami memiliki tabungan sehingga kami bisa hidup secara independen. Tapi walaupun Anda memiliki bank, jika Anda tidak memiliki pendapatan, uang Anda akan habis," ucapnya.

"Sekarang uang kami sudah habis. Kami terpaksa tinggal di sini," ujar Zakir.

'Pengungsi muda rentan terbaikan'

Trauma soal keselamatan jiwa dan keputusan meninggalkan tanah air menghantui sebagian besar pengungsi, menurut Realisa Masardi, dosen antropologi di Universitas Gadjah Mada.

Realisa, yang selama 10 tahun terakhir meriset isu pengungsi, menyebut kondisi psikologi para pelarian itu juga mudah terdampak minimnya hak dasar yang mereka dapatkan di Indonesia.

Para pengungsi muda, kata Realisa, adalah kelompok yang paling rentan karena tidak masuk daftar prioritas UNHCR dalam program penempatan ke negara ketiga.

"Jika melihat kriteria pengungsi yang diprioritaskan mendapat penempatan permanen, mereka seperti ditinggalkan. Penempatan ke negara ketiga lebih ditujukan untuk kelompok rentan."

"Namun banyak di antara mereka yang mampu keluar dari persoalan psikologi itu," ujar Realisa.

Walau begitu, Realisa menilai secara umum situasi itu tak serta-merta membuat para pengungsi muda di Indonesia kehilangan logika berpikir.

"Saya tidak melihat ada semacam kompetisi di antara pengungsi untuk mendapat kesempatan dari UNHCR. Pengungsi muda dan yang lajang harus menunggu peluang lebih lama, tapi kebanyakan dari mereka menjalin hubungan baik dengan sesama pengungsi," ucapnya.

"Ini adalah bukti mereka masih menjaga rasa kemanusiaan," ujar Realisa menjawab pertanyaan BBC Indonesia dalam seminar daring yang digagas lembaga advokasi pengungsi, Suaka, 19 Juni lalu.

Merujuk keterangan UNHCR, pengungsi yang dianggap perlu mengikuti program penempatan ke negara ketiga adalah mereka yang mengalami kerentanan di negara transit dan tak bisa kembali ke negara asal.

Di seluruh dunia, selama periode Januari hingga April 2020, kategori pengungsi yang mendapat prioritas UNHCR adalah 'yang membutuhkan perlindungan fisik dan hukum' (34 persen).

Kategori lainnya, antara lain korban kekerasan atau penyiksaan (31 persen) dan perempuan dalam kondisi rentan (20 persen).

UNHCR melalui situs mereka menyatakan, penempatan ke negara ketiga "bukan hak yang otomatis didapatkan semua orang berstatus pengungsi".

Dalam dokumen yang sama, UNHCR menyebut peluang pengungsi untuk ditempatkan secara permanen di negara ketiga juga tidak berkaitan dengan berapa lama mereka telah tinggal di negara transit seperti Indonesia.

"Kami mohon untuk tidak berulang kali menulis permintaan kepada kami untuk mendapat peluang pemukiman kembali di negara ketiga. Identifikasi didasarkan pada penilaian kasus per kasus, bukan permintaan yang kami terima dari pengungsi," tulis dokumen itu.

"Negara ketiga hanya menyediakan tempat terbatas setiap tahun, kurang dari 1% total pengungsi di seluruh dunia. Karena Indonesia menampung jumlah pengungsi yang cukup sedikit ketimbang negara lain, peluang penempatan kembali lebih sedikit dari yang diharapkan banyak orang."

UNHCR bahkan menyebut para pengungsi di Indonesia juga harus siap menerima kenyataan jika mereka tidak akan pernah meninggalkan Indonesia untuk ditempatkan ke negara ketiga.

"Anda mesti mempertimbangkan semua opsi yang ada, termasuk kembali ke negara asal, jika Anda bisa melakukannya secara aman."

Bagaimanapun, kata Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Maymann, pihaknya akan terus berupaya mengatasi persoalan pengungsi, terutama saat pandemi Covid-19.

"Di banyak negara yang menampung pengungsi, pandemi menunjukkan krisis berlapis. Ini tugas berat bagi negara yang juga bertanggung jawab mengurusi warganya," kata Maymann dalam pidato Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni lalu.

"Tantangan yang ada sangat besar. Kami sangat menghargai dukungan dan solidaritas yang ditunjukkan pemerintah Indonesia selama periode yang sulit ini."

"Kami terus bekerja sama secara erat dengan otoritas untuk memastikan pengungsi mendapatkan akses penuh terhadap fasilitas kesehatan," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI