Suara.com - Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya menilai, pemerintah harus mengubah model pembangunan ekonomi yang lebih berketahanan nasional tanpa merusak lingkungan dan hutan, serta tidak bergantung pada impor di masa pandemi Covid-19.
Ketahanan pangan nasional juga perlu digantungkan pada komoditas yang lebih beragam dan seimbang antara komoditas pangan dan perkebunan monokultur skala besar.
"Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat," kata Muhammad Teguh dalam keterangan pers, Jumat (19/6/2020).
FAO telah memberikan peringatan akan terjadinya ancaman krisis pangan dunia, dan banyak negara mengerem ekspor pangannya untuk mengantisipasi ancaman ambruknya ketahanan pangan. Sejumlah negara juga mengimplementasikannya dengan memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negeri dan menahan ekspor pangan ke luar negeri.
Baca Juga: Belajar dari Pandemi Covid-19, Kemhan Bakal Tingkatkan Ketahanan Pangan
Menurut Teguh, menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada komoditas unggulan tertentu seperti sawit tidak tepat untuk dilakukan saat ini dan bahkan dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pemerintah seharusnya memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu daerah, sehingga komoditas perkebunan dan pangan lainnya dapat turut bersaing sebagai penyumbang perekonomian di tengah situasi ancaman krisis ekonomi global.
Hasil kajian Madani di Kalimantan Barat yang memiliki luas sawit tertanam terbesar ketiga se-Indonesia menunjukkan bahwa Kalbar ternyata memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Borneo tersebut.
"Perluasan perkebunan sawit di sana juga tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Tingkat produktivitasnya rendah dengan peringkat 10 dari 10 provinsi yang memiliki lahan sawit terluas,” kata Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.
Sementara itu, Provinsi Riau yang memiliki sawit tertanam terluas di Indonesia, yaitu 3,4 juta hektare, dari hasil Kajian Madani menunjukkan setidaknya terdapat tujuh kabupaten memiliki ketimpangan yang sangat besar antara luas sawit dan tanaman pangan. Diantaranya Bengkalis, Siak, Rohul, Pelelawan, Kampar, Inhil dan Rohil.
Luas lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan pada tujuh kabupaten tersebut tak ada satupun melebihi angka 30 persen dari luas sawit. Bengkalis hanya memiliki 23,6 ribu hektare (11 persen) luas lahan pangan dibandingkan area tanam sawitnya yang mencapai 187 ribu hektare.
Baca Juga: Badan Keahlian Sekjen DPR Gelar Webinar Ketahanan Pangan
Selanjutnya diikuti Siak, 56 ribu hektare (14 persen) dan Rokan Hulu 73 ribu hektare (15 persen) dibandingkan dengan luas sawit di dua kabupaten tersebut. Ketimpangan lahan tersebut berimplikasi pada ketahanan pangan pada kabupaten-kabupaten tersebut.
"Setidaknya ada 6 kabupaten yang menunjukkan ketahanan pangan rendah (Pelalawan dan Rohil) dan 4 kabupaten yang termasuk rawan pangan (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar),” ungkapnya.
Diversifikasi komoditas pangan unggulan dengan tanaman-tanaman lokal seperti sagu dan sorgum perlu diprioritaskan, sehingga bukan lagi program 'berasisasi'. Apalagi rencana cetak sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang akan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dapat mengancam keberadaan gambut di wilayah tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya Karhutla, serta bencana asap yang akan lebih menyengsarakan masyarakat di tengah pandemi.
44 persen Karhutla 2019 terjadi di Fungsi Ekosistem Gambut. Program cetak sawah pemerintah di lahan gambut yang direncanakan akan membuka rawa gambut berisiko meningkatkan kerawanan terjadinya Karhutla yang selain menyengsarakan rakyat juga akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia.
“Keberadaan komoditas pangan lokal seperti sagu dapat menjaga kelestarian ekosistem lahan gambut dan juga dapat menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal. Sehingga dapat menciptakan ketahanan pangan,” jelasnya.
“Saatnya pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan monokultur skala besar seperti HTI dan sawit karena dapat menggerus lahan-lahan produktif untuk pangan," ujarnya menambahkan.