Suara.com - Presiden Burundi baru Evariste Ndayishimiye dijadwalkan dilantik Juni 2020, sebagai ganti Pierre Nkurnziza yang meninggal dunia pekan lalu.
Untuk itu, Amnesty International mendesak Ndayishimiye segera memperbaiki catatan buruk hak asasi manusia di negaranya.
Menyadur BBC, Ndayishimiye awalnya dijadwalkan naik tahta pada Agustus, namun keputusan terbaru menyebut ia akan dilantik pada Kamis (18/6).
Menurut konstitusi Burundi, jika kepala negara wafat saat menjalankan kepemimpinan, presiden majelis nasional yang akan menggantikan posisinya. Tetapi Mahkamah Konsitusi Burundi disebutkan, memutuskan untuk mengajukan pelantikan Ndayishimiye lebih awal.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Beri Bantuan Kain Kafan untuk Jenazah Covid di 50 RS
Menyoroti hal ini, pihak Amnesty International mendesak Ndayishimiye untuk mengakhiri penindasan HAM di negaranya dengan membuka kembali ruang sipil, mengakhiri kejahatan hukum internasional, dan pelanggaran hak asasi manusia oleh otoritas keamanan dan sata pemuda partai yang berkuasa.
Mengutip PML Daily, Amnesty International pada Kamis (18/6), mengatakan Ndayishimiye ahrus segera membebaskan semua orang yang dipenjara karena menegakkan hak asasi mereka.
"Evariste Ndayishimiye memiliki kesempatan untuk memperbaiki catatan hak asasi manusia yang mengerikan di Burundi. Awal yang baik untuk segera dan tampa syarat membebaskan semua orang yang telah dihukum dengan tuduhan palsu hanya karena menjalankan hak asasi mereka," ujar Deprose Muchena, Direktur Amnesty International untuk Afrika Timur dan Selatan.
"Kami mendesak Presiden Ndayishimiye untuk mengakhiri penindasan yang menandai masa pemerintah sebelumnya dan mengembalikan rasa hormat terhadap hak asasi manusia semua orang di Burundi," sambungnya.
Ndayishime yang dikenal sebagai jenderal militer yang rendah hati dan religius ini menang dalam pemilihan umum yang dilangsungkan pada 20 Mei lalu.
Baca Juga: Sebelum Kerja Sama dengan Kemendikbud, DPR Minta Status Netflix Diperjelas
Ia mengakhiri periode 15 tahun kekuasaan Nkurunziza yang disebut sebagai pemimpin yang melakukan pelanggaran HAM berat dan melakukan tindakan keras terhadap oposisi, jurnalis, dan aktivis.