Gustika: Pemerintah Harus Dengarkan Keresahan Papua, Bukan Kirim Militer

Rabu, 17 Juni 2020 | 22:05 WIB
Gustika: Pemerintah Harus Dengarkan Keresahan Papua, Bukan Kirim Militer
Sejumlah aktivis dari gabungan aliansi Solidaritas Masyarakat untuk Demokrasi melakukan aksi damai terkait pembebasan 7 Tahanan Politik Papua di 0 Kilometer, Yogyakarta, Senin (15/6/2020). [Suarajogja.id / baktora]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aktivis dan peneliti muda Gustika Fardani menilai pemerintah seharusnya membuka ruang dialog dengan orang-orang Papua yang selama ini merasa didiskrimasi dan mendapat perlakuan rasisme dari Indonesia, bukan mempidanakan mereka.

Cucu Wakil Presiden pertama RI Mohamammad Hatta itu mengatakan pengiriman militer ke tanah Papua tidak akan menyelesaikan akar masalah karena sebenarnya orang Papua hanya ingin berbicara dan didengarkan.

"Saatnya pemerintah mendengar dan mengurai akar masalahnya apa, karena menambah force, menambah militer, menambah polisi itu bukan sebuah solusi, namun betul-betul secara sistemik harus diurai," kata Gustika dalam diskusi Amnesty Internasional Indonesia, Rabu (17/6/2020).

Menurutnya, suara para tahanan politik Papua seperti Mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih Ferry Kombo yang baru saja melakukan makar dan divonis 10 bulan perlu direfleksikan oleh pemerintah.

Baca Juga: Protes Vonis 7 Tapol Papua, Natalius Pigai: Pengadilan Sesat dan Rasis!

"Ada alasan kenapa orang-orang seperti Ferry Kombo angkat bicara dan ketika mereka angkat bicara kita harus betul-betul mengerti keresahannya di mana," tegasnya.

Terkait putusan 7 tapol Papua di Balikpapan hari ini, Gustika menilai putusan ini tidak adil sebab mereka hanya bersuara memperjuangkan keresahannya lewat demonstrasi pertengahan tahun lalu karena teman-temannya diperlakukan rasis oleh oknum aparat dan ormas di Asrama Papua, Surabaya.

"Untuk dipenjara 7 sampai 17 tahun pun sangat-sangat terlalu lama, dan untuk dipenjara sekalipun itu tidak masuk akal karena katanya indonesia adalah negara demokrasi negara hukum," tuturnya.

Untuk diketahui, dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020), ketujuh tapol Papua divonis melanggar pasal makar.

Majelis hakim menyebut mereka terbukti melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Makar, dan harus membayar biaya perkara Rp 5 ribu.

Baca Juga: 7 Tapol Papua Divonis Penjara, Veronica Koman: Hukum Indonesia Rasis!

Rinciannya, mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih Ferry Kombo divonis 10 bulan penjara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI