Suara.com - Watchdoc Documentary bersama Greenpeace Indonesia menggagas sebuah film berbasis data berjudul "Kerja, Prakerja, Dikerjai". Film ini mengulas tentang beragam permasalahan kebijakan pemerintah terkait ketenagakerjaan di Indonesia termasuk dalam masa pandemi Covid-19.
Film berdurasi 53 menit itu disutradarai oleh Sindy Febriyani. Sejak diunggah di kanal YouTube Watchdoc Documentary pada 13 Juni 2020, kekinian telah ditonton lebih dari 190 ribu kali.
Dalam diskusi bertajuk "Membedah Film Kerja, Prakerja, Dikerjai", sang sutradara Sindy Febriyani mengemukakan alasan mengusung tema ini. Dia mengatakan tema itu sengaja diangkat lantaran memiliki keterkaitan dengan slogan yang kerap diutarakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni kerja, kerja dan kerja.
"Tapi ternyata kita kerja terus, ada problem, prakerja, unjung-ujungnya jadinya dikerjai. Itu sebenarnya tujuan dari judulnya," kata Sindy Febriyani dalam diskusi bertajuk "Membedah Film Kerja, Prakerja, Dikerjai" seperti disiarkan dari kanal YouTube Greenpeace Indonesia, Selasa (16/6/2020) malam.
Baca Juga: Tak Cuma Jakarta, Fenomena Bersepeda Malam Hari Juga Marak di Surabaya
Adapun latar belakang isu ketenagakerjaan, Sindy Febriyani mengemukakan juga diangkat berkaitan dengan situasi kekinian. Yang mana banyak kalangan pekerja diberhentikan hak kerjanya atau PHK serta dirumahkan akibat pandemi Covid-19.
Setidaknya, dalam film itu ia mencantumkan data ada sekitar 1,7 juta pekerja yang di-PHK dan dirumahkan akibat pandemi Covid-19. Meski, seiring berjalannya waktu angka itu menurutnya semakin bertambah.
"Di situ kita lihat akan ada krisis bagi para pekerja. Kita mencoba melihat dari sistem tenaga kerja kita yang kita punya sendiri," ujar Sindy Febriyani.
Film "Kerja, Prakerja, Dikerjai" juga turut mengulas terkait konsep upah minimum provinsi atau UMP di Indonesia. Di mana konsep UMP di Indonesia diketahui sejatinya hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja. Sebagian besar pekerja dengan konsep UMP di Indonesia tidak bisa menyisihkan uang untuk kebutuhan lain seperti halnya untuk mengantisipasi ketika terjadi pandemi saat ini.
"Jadi itu sudah otomatis banget kalau dalam situasi pandemi ini, orang yang tadinya dapat uang per bulan itu ya cuma buat sebulan itu doang nggak bisa untuk apa-apa lagi," ungkap Sindy Febriyani.
Baca Juga: Novel Baswedan Sebut Keadilan Kasusnya ada di Tangan Jokowi
Di sisi lain, dalam film itu juga mengulas beragam persoalan terkait Omnibus Law, RUU Cipta Kerja, dan Undang-Undang Minerba yang sejatinya semata-mata pemerintah hanya bertujuan untuk menarik investasi. Padahal, dalam situasi krisis akibat pendemi saat ini masyarakat lebih membutuhkan makan.
Kemudian, film tadi juga mengulas tentang beragam persoalan terkait program prakerja. Sejak diluncurkan pertengahan Maret 2020, Kartu Prakerja memang telah panen kritik. Program yang dananya membengkak dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun ini memicu polemik.
Kemudian, dari anggaran Rp20 triliun sekitar Rp5,6 triliun diperuntukkan membayar lembaga pelatihan. Alih-alih memberi pelatihan terhadap masyarakat khususnya yang terdampak krisis ekonomi akibat pendemi Covid-19. Justru kebijakan yang dinilai tidak tepat itu memunculkan persoalan baru. Mulai pemilihan mitra platform yang diketahui memiliki afiliasi dengan partai dan oknum-oknum penjabat pemerintah, hingga termutakhir adalah adanya lembaga pelatihan dadakan yang ikut tergabung dalam program itu.
"Kita melihat ada konflik kepentingan di situ, seperti kita tahu ada delapan digital platform di situ salahsatunya mungkin kemarin dimiliki oleh staf khusus milenial Ruang Guru," papar Sindy Febriyani.
Selain mengulas beragam persoalan terkait ketenagakerjaan, dalam film "Kerja, Prakerja, Dikerjai" sang sutradara juga turut mengulas sektor pekerjaan yang dinilai memiliki keamanan dalam menghadapi situasi pendemi, yakni sektor pertanian. Dalam film diperlihatkan kisah seorang petani muda asal Purbalingga, Jawa Tengah yang tergabung dalam komunitas Harvest Mind.
"Dia menurut aku millenial panutan yang pengen banget bekerja di gedung bertingkat tapi mereka memilih kembali ke basic, memilih untuk kembali bertani," ungkap Sindy Febriyani.
"Apa sih yang dibutuhkan manusia, yang dibutuhkan manusia adalah makan. Mereka bilang tidak pernah tahu namanya bakal ada pandemi. Menurut dia, dengan kegiatan untuk kembali ke sawah, kembali ke alam, dia merasa hidupnya nyaman tidak merasa ketar-ketir kayak sekarang," tandasnya.