Black Lives Matter Memicu Pembicaraan Isu Rasisme terhadap Papua

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 16 Juni 2020 | 19:29 WIB
Black Lives Matter Memicu Pembicaraan Isu Rasisme terhadap Papua
Poster anti rasisme warga Papua. [dok]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gerakan Black Lives Matter telah menginspirasi banyak orang untuk membicarakan rasisme sistemik di negara mereka sendiri, termasuk di Indonesia.

Seorang perempuan asal Papua ikut berorasi dalam rangkaian aksi protes sekaligus aksi unjuk rasa solidaritas 'Black Lives Matter' menuntut keadilan atas kematian George Floyd di Amerika Serikat yang digelar di Melbourne, Australia, pada Sabtu (06/06) lalu,

"Nama saya Cindy Makabory. Saya bangga lahir dari pasangan pribumi berkulit hitam dari Melanesia," ucapnya dalam video dalam bahasa Inggris.

Dalam orasinya, Cindy menceritakan insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, di mana teriakan berbau rasis seperti 'monyet' disematkan pada orang Papua.

Baca Juga: Besok Sidang Vonis, Kuasa Hukum Berharap Tujuh Tapol Papua Divonis Bebas

Ia juga menceritakan hukuman yang diterima beberapa orang Papua yang menginisiasi protes melawan perlakuan rasisme tersebut.

"Kemarin, tujuh orang tahanan politik Papua dihukum 5, 10, 15, dan 17 tahun penjara, dan kesalahan yang mereka lakukan adalah melawan rasisme dan memperjuangkan hak Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri, sementara aparat keamanan yang melakukan aksi rasisme hanya dihukum 6 bulan penjara," kata Cindy dengan lantang.

"Ini secara jelas menunjukkan sistem hukum Indonesia bias dan secara institusional rasis terhadap orang-orang Papua," tambahnya.

Mereka yang diadili termasuk aktivis Buchtar Tabuni dari Gerakan United Liberation untuk Papua Barat.

Selain Cindy yang menggunakan momentum gerakan 'Black Lives Matter' untuk melihat sikap rasisme terhadap orang Papua, Andreas Harsono dari 'Human Rights Watch' juga mengunggah sebuah tweet yang membandingkan kematian George Floyd dengan insiden di Indonesia beberapa tahun yang lalu.

Baca Juga: Tuntut 7 Tapol Bebas, Solidaritas Pembebasan Papua Gelar Aksi di MA

"George Floyd yang ditahan mirip dengan kasus Obby Kogoya 2016, seorang lelaki Papua yang kepalanya diinjak oleh [seorang] polisi Indonesia, ketika asramanya dikepung di Yogyakarta, Pulau Jawa #PapuanLivesMatter #BlackLivesMatter," katanya.

Rasisme terhadap orang Papua di Indonesia adalah masalah yang rumit.

Apalagi jika dirunut lebih jauh ke belakang dari sejarah masuknya Papua ke wilayah Republik Indonesia, keberadaan sumber tambang yang besar, sampai masih terbatasnya kondisi di Papua meski sudah menyandang status otonomi khusus.

Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia terletak di bagian barat daya pulau Papua yang kaya sumber daya, di mana penduduknya memiliki ikatan budaya dan etnis yang dekat dengan Melanesia.

Wilayah ini ada di bawah kekuasaan Belanda sebelum masuk ke Indonesia melalui referendum yang didukung PBB pada tahun 1969.

Memicu gerakan 'Papuan Lives Matter'

Aktivis pro-Papua sekaligus pengacara hak asasi manusia pro-Papua, Veronica Koman menilai gerakan global anti-rasisme telah menghasilkan momentum baru di Indonesia.

Menurutnya hal ini terlihat dari tagar #PapuanLivesMatter yang sempat menjadi tren di Twitter selama berhari-hari dan digunakan bersama #BlackLivesMatter.

"Seperti di tempat lain, gerakan global juga telah diadaptasi menjadi Papua Lives Matter [di Indonesia]," kata Veronica yang kini tinggal di Australia kepada ABC.

Namun, selain mengapresiasi antusiasme orang Indonesia yang terpicu oleh gerakan 'Black Lives Matter' untuk kembali mengingat masalah di Papua, ia juga mengingatkan fakta yang ironis.

"Jika Anda membandingkan dakwaan, para pelaku rasisme yang terlibat dalam insiden [Hari Kemerdekaan] menerima hukuman hingga 10 bulan dan sekarang dibebaskan.

"Ironisnya adalah ketika dunia menghadapi anti-rasisme, di Indonesia korban rasisme menghadapi hukuman penjara yang panjang."

Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan kepada ABC "rasisme tidak memiliki tempat di Indonesia" dan membantah semua tuduhan sikap rasis sistemik terhadap orang Papua.

"Insiden penganiayaan orang Indonesia asli Papua adalah peristiwa yang terpisah dan tidak mencerminkan kebijakan Pemerintah," katanya.

"Untuk menyamakan insiden-insiden yang terisolasi itu dengan gerakan global untuk kesetaraan tidak tepat sasaran. Selain itu, para pendukung kampanye Papua adalah mereka yang bertujuan untuk memisahkan provinsi Papua dari Indonesia."

Salah satu dari aksi unjuk rasa meminta tahanan politik Papua dibebaskan yang digelar di Yogyakarta, 15 Juni 2020.

Semangat gerakan 'Black Lives Matter' di Indonesia diketahui diadaptasi menjadi beberapa gerakan solidaritas dan advokasi yang berakar pada isu rasisme untuk masalah di Papua, meski tidak melulu soal kemerdekaan Papua.

Senin (15/06) sejumlah aksi protes digelar di beberapa kota di Indonesia, seperti Balikpapan, Jakarta, Yogyakarta, Bogor dan Malang sebagai solidaritas mendesak pembebasan tahanan politik Papua.

Sebelumnya, Lembaga Pers Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung, misalnya, menggelar diskusi dengan judul Diskriminasi Rasial terhadap Papua.

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) juga menggelar diskusi yang membedah rasisme hukum di Papua.

Menjadi 'sahabat pengadilan' bagi Tapol Papua

Selain diskusi tentang Papua, BEM UI dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UI (BEM FH UI) mengajukan diri sebagai 'sahabat pengadilan' untuk tahanan politik asal Papua yang sedang berperkara di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Dalam istilah hukum apa yang mereka tawarkan adalah 'Amicus Curiae', yakni sebagai individu atau kelompok yang memberikan pendapat, informasi, fakta kepada pengadilan.

"Kami memohon agar majelis hakim dapat menggali dan menemukan potensi adanya bias rasial yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kasus-kasus ini," kata dua lembaga itu dalam pers rilisnya, Jumat (12/6/2020) siang.

Menjadi 'Amicus Curiae' pernah ditawarkan beberapa lembaga, seperti LBH Jakarta dalam kasus Basuki Tjahja Purnama dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam sidang kriminalisasi yang menimpa Baiq Nuril.

Peneliti senior ICJR, Anggara Suwahju mengapresiasi inisiatif BEM UI dan BEM FH UI yang mengajukan diri sebagai Amicus Curiae dan meminta agar inisiatif ini tidak disepelekan.

"Meskipun [Amicus Curiae] ini cuma pendapat ahli yang tidak mengikat dan tidak boleh menjadi dasar pembuktian, serta tidak menjadi bagian dari persidangan, ini adalah bagian dari partisipasi warga negara terhadap proses peradilan dan memastikan pengadilan membuat putusan yang alasannya cukup logis," kata Anggara.

Anggara menjelaskan 'Amicus Curiae' ini biasanya diserahkan kepada hakim, yang isinya merupakan pendapat ahli berdasarkan kasus-kasus yang sebelumnya pernah ada.

"Biasanya dibuat secara tertulis dan diserahkan oleh pihak yang memiliki keahlian spesifik terhadap suatu kasus tertentu," tutur Anggara kepada Hellena Souisa dari ABC News.

"Saya mendorong semua kawan-kawan dari Fakultas Hukum di seluruh Indonesia untuk mulai memikirkan cara-cara berpartisipasi dalam sistem pengadilan," tambahnya.

Untuk kasus Papua, Anggara berharap, masukan dari 'sahabat pengadilan' juga bisa membuka pikiran hakim dan negara untuk mempertimbangkan kemungkinan bangunan kenegaraan yang lain.

Menurutnya apa yang disampaikan oleh orang-orang Papua selama ini dibaca sebagai keinginan untuk memiliki bangunan kenegaraan yang lain.

"Kalau diskursus soal bangunan kenegaraan yang lain itu selalu ditutup dengan tuduhan makar, ya kita nggak akan nemu bangunan lain selain otonomi khusus," ucap Anggara.

Menurut LSM 'Papua Behind Bars' saat ini ada puluhan orang Papua yang dipenjara karena dakwaan makar berdasarkan pasal 106 dan 110 KUHP Indonesia.

Suatu kelompok kerja PBB juga sebelumnya telah mengkritik pasal-pasal tersebut karena "dirancang dalam ketentuan umum dan tidak jelas sehingga dapat digunakan secara sewenang-wenang untuk membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat".

Pengacara advokasi Pieter Ell mengatakan pasal 106 dan 110 telah digunakan dalam dua tahun terakhir untuk membungkam para pembangkang dari diskusi terbuka atau memprotes ketidakadilan Papua.

"Pasal-pasal ini secara teratur digunakan di Papua dan alih-alih pejabat menangani masalah yang mengakar, mereka telah membungkam ekspresi apa pun yang dianggap sebagai gangguan terhadap keselamatan dan stabilitas kawasan," kata Pieter dalam konferensi pers.

"Masalah yang saya amati selama beberapa waktu ini adalah kurangnya proses peradilan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang melekat, yang merupakan pelanggaran berulang terhadap hak asasi manusia di Papua."

Bulan lalu Amnesty International merilis laporan tentang pelanggaran hak-hak sipil dan politik di Papua dan Papua Barat kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Salah satu isinya adalah sejumlah organisasi non-pemerintah "sudah sejak lama punya keprihatinan yang serius tentang kejahatan hukum internasional dan pelanggaran hak asasi manusia".

Pelanggaran-pelanggaran tersebut termasuk eksekusi ekstra-yudisial oleh pasukan keamanan di Papua dan penangkapan sewenang-wenang, kata laporan itu.

Amnesty International mengatakan pihaknya mendokumentasikan beberapa pola berdasarkan tinjauan 69 kasus dugaan pembunuhan tidak sah oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 dan Februari 2018.

Aktivis dan pengunjuk rasa menyerukan hak Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Laporan tersebut juga menyoroti 26 kasus dugaan pembunuhan tidak sah terhadap warga sipil Papua oleh pasukan keamanan Indonesia antara Maret 2018 dan Mei 2020, selain menyebutkan penyelidikan terhadap mereka yang terlibat kasus tersebut sangat jarang dilakukan.

"Semua 26 kasus terjadi ketika pasukan keamanan menggunakan kekuatan berlebihan untuk menangani protes sosial yang damai, insiden gangguan publik," kata laporan itu.

"Tidak ada mekanisme yang independen, efektif, dan tidak memihak untuk menangani pengaduan publik tentang pelanggaran oleh pasukan keamanan, termasuk pelanggaran pidana yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, membuat banyak korban tanpa akses ke keadilan, kebenaran dan reparasi."

ABC telah menghubungi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberikan komentar tetapi belum menerima tanggapan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI