Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sedikitnya ada 28 kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sejak 2015 yang dianggap mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme.
Dua poin tanda-tanda otoritarianisme di antaranya mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Pertahanan dan mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Keamanan Polri.
YLBHI menilai dwi fungsi pertahanan keamanan, berdampak pada banyak kebijakan yang membuat TNI-Polri terlibat dalam pemerintahan.
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengatakan hanya jabatan yang dimungkinkan menjabat di pemerintahan.
Baca Juga: YLBHI Beberkan 28 Kebijakan Jokowi yang Terkesan Otoriter, Ini Kata KSP
"Di pemerintahan hanya memang jabatan-jabatan yang memang dimungkinkan secara undang-undang, dan itu juga ada persyaratannya, TNI aktif kan tidak boleh," ujar Donny saat dihubungi Suara.com, Senin (15/6/2020).
Tak hanya itu, Donny Gahral Adian mengatakan terkait dwi fungsi, secara Undang-undang, TNI memiliki kemungkinan untuk melakukan operasi militer selain perang (OMSP).
"Memang infrastruktur dan punya SDM yang mumpuni untuk melakukan itu, misalnya distribusi alat kesehatan, distribusi PCR dan rapid test, itu kan kalau tanpa dibantu ini akan kesulitan. TNI punya jaringan sampai ke desa-desa ada Babinsa dan sebagainya," ucap dia.
Karenanya dengan pelibatan TNI sangat membantu meringankan pekerjaan-pekerjaan sipil.
"Jadi kenapa tidak ketika TNI bisa membantu pekerjaaan-pekerjaan sipil selama memang tidak kemudian tidak mengambil alih sipil. Tetapi bahwa TNI hanya membantu untuk meringankan pekerjaan-pekerjaan sipil supaya tujuan tercapai," ucap dia.
Baca Juga: Jokowi Ajak Rakyat Awasi Penggunaan Dana COVID-19
Untuk diketahui, sedikitnya ada 28 kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sejak 2015 yang dianggap mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme. Ini seperti dicermati Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)