Suara.com - Kehebohan perkara buzzer yang menyerang komika Bintang Emon pasca sentilannya soal kasus Novel Baswedan menimbulkan rasa penasaran publik: bagaimana sebenarnya sebuah akun buzzer bekerja?
Seorang peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance, Mohammad Rinaldi Camil membeberkan bagaimana cara kerja buzzer di sosial media.
Dalam artikel yang dipublikasikan The Conversation pada tahun 2019 lalu, Rinaldi mengupas strategi para buzzer baik yang beroperasi di ranah promosi merek hingga buzzer politik.
Menurut Rinaldi, buzzer ini adalah individu atau akun dengan kemampuan amplifikasi pesan yang bergerak atas motif bayaran dan sukarela.
Baca Juga: Diamuk Publik, Begini Nasib 3 Akun Twitter Penuding Bintang Emon Nyabu
Definisi buzzer juga bisa diambil makna secara filosofis kata 'buzz' yang merupakan suara dengungan yang dihasilkan oleh seekor lebah secara terus-menerus.
Berawal dari Buzzer produk
Sejak tahun 2009, strategi pemasaran produk dari mulut ke mulut semakin populer dan dinilai lebih efektif kepada target pasar.
Seorang buzzer mengaku bisa menghasilkan Rp 800 ribu hingga Rp 1,6 juta untuk sebuah kicauan dari satu paket jasa. Itu adalah harga jasa di tahun 2017 lalu.
Keefektifan jasa buzzer dalam menarik perhatian publik sosial media, terutama Twitter itu kemudian dilirik oleh kandidat politik pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2012.
Baca Juga: Bintang Emon Difitnah Buzzer, Warganet Murka
Sejak saat itu, jasa buzzer ini tak pernah absen dari perhelatan pemilu baik pilkada maupun pilpres.
Strategi Buzzer
Ada beragam cara yang digunakan oleh buzzer untuk menyampaikan pesan kepada publik sosial media.
Salah satu cara kerja buzzer adalah dengan menggunakan akun bot secara masif. Akun bot ini digunakan untuk meraih otomasi mesin dan algoritma media sosial sehingga menghasilkan kicauan dengan frekuensi yang tinggi hingga mencapai trending topic.
Selain itu, akun bot juga digunakan untuk membuat atau memenangkan sistem polling pilihan calon presiden dan calon wakil presiden, seperti yang terjadi di Pilpres 2019.
Strategi yang digunakan para buzzer juga tak hanya melibatkan satu akun melainkan dua atau lebih akun yang digunakan untuk membangun frekuensi kucauan.
Akun-akun tersebut akan bertindak sebagai pihak yang mendukung dan pihak yang kontra terhadap topik percakapan.
Strategi itu digunakan untuk memancing rasa penasaran dan keterlibatan warganet sehingga memantik perhatian.
Di sisi lain, keberadaan buzzer ini juga sering kali menimbulkan kegaduhan.
Buzzer terkadang melakukan cara-cara seperti memfabrikasi percakapan, perang tagar, hingga menyebarkan disinformasi membuat pesan yang disampaikan menjadi kabur.
Aktivitas itulah yang menyebabkan para buzzer ini perlahan mendapat pandangan negatif dari publik. Jika kicauan para buzzer ini dilakukan secara berkepanjangan bisa menurunkan kualitar ruang publik, dan menurunkan kualitas demokrasi di level yang lebih lanjut.