Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat sedikitnya ada 29 kebijakan pemerintah sejak 2015 yang dipimpin presiden Joko Widodo alias Jokowi yang dinilai mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme pemerintah.
Kebijakan yang dinilai otoriter ini dikumpulkan YLBHI dari 2015 yang angkanya semakin meningkat di tahun 2020 sekarang.
Kebijakannya pun bermacam-macam, mulai dari kebijakan ekonomi negara, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebijakan dwi fungsi pertahanan keamanan, serta kebijakan politik yang memperlemah partai oposisi.
"Bisnis ekonomi ini mulai dari mengamankan omnibus law cipta kerja dan macammacam lainnya, kemudian ada soal kebebasan sipil dan politik mulai dari berpendapat berekspresi, menyampaikan pendapat di muka umum, berorganisasi, memiliki pandangan politik yang berbeda, dan kebebasan akademis," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam diskusi Mimbar Bebas Melawan Oligarki : Seri 1 - Tanda-Tanda Otoritarianisme Pemerintah, Minggu (14/6/2020).
Baca Juga: Jokowi Terjunkan Tentara Disiplinkan Warga Patuh Protokol Kesehatan
Terkait dwi fungsi pertahanan keamanan, Asfinawati menjelaskan banyak kebijakan yang membuat TNI-Polri terlibat dalam pemerintahan, padahal secara kualifikasi orang-orang tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan jabatan yang diberikan.
"Pelibatan kembali aparat-aparat keamanan tidak hanya di bidang pertahanan dan keamanan tetapi juga di bidang politik, termasuk memberikan tempat di posisi yang tidak ada hubungan dengan keahlian utama dari orang-orang pertahanan dan kemanan ini," jelasnya.
Berikut 29 Tanda-tanda Pemerintah Otoriter Menurut YLBHI:
- Membuat PP Pengupahan yang bertentangan dengan UU (2015)
- Memperlemah (Kemungkinan Adanya) Oposisi dengan Mengacakngacak Parpol melalui Melawan Hukum Putusan MA: Golkar (2015).
- Memperlemah (Kemungkinan Adanya) Oposisi dengan Mengacakngacak Parpol melalui Melawan Hukum Putusan MA: PPP (2016).
- Membiarkan Pembantunya Membangkang terhadap Putusan MK (2016).
- Membatasi Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Melalui PP 60/2017 yang Bertentangan dengan UU 9/1998 (2017)
- Perppu Ormas Membubarkan Ormas Tanpa Pengadilan (2017).
- UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertahanan.
- Permendagri 3/2018 tentang tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian/SKP (2018).
- Hak Tidak Memilih/Golput dijerat UU Terorisme dan UU ITE (2019).
- Penggunaan Pasal Makar oleh Kepolisian Secara Sembarangan.
- Melegalkan Kriminalisasi Pemilik Hak atas Tanah dengan Dalih Komponen Cadangan (2019).
- Mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Pertahanan.
- Mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Keamanan: Polri.
- SK Menkopolhukam No. 38/2019 tentang Tim Asistensi Hukum (2019).
- Menyetujui SKB tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka
- Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara (2019).
- Pemberangusan Masif Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
(2019) - Pemerintah memasukkan/setuju pasal makar, penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKUHP (2019)
- Operasi Militer Ilegal Di Papua (2019).
- Pemadaman Internet di Papua (2019).
- UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Penelitian (2019).
- Mengabaikan Partisipasi Publik dalam Rencana Pemindahan Ibukota Negara (2019).
- Meminta BIN dan Polri untuk Menangani Ormas yang Menolak Omnibus Law (2020).
- Berkehendak Menjalankan Darurat Sipil (2020).
- Membiarkan Anak Buahnya Melawan Putusan MK untuk Mengkriminalkan “Penghina” Presiden (2020).
- Membangkang terhadap Putusan MA tentang BPJS (2020).
- Berkehendak Bisa Mengubah UU dengan PP (2020).
- Pemberangusan Hak atas Kebebasan Berpendapat (2020).
- BIN Ikut Campur Diskusi Di Kampus (2020)
Baca Juga: Istana Nilai Wajar Tingkat Kepuasaan Rakyat ke Jokowi Turun saat Corona